KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Awakening | Chapter 1 : Sebuah Awal

18 Juni 2021

Awakening | Chapter 1 : Sebuah Awal

Malam perlahan menghilang, digantikan oleh cahaya fajar yang kian menerang. Merah dan jingga pun mulai menghiasi langit, layaknya sedang mengusir kegelapan untuk menyambut sang pagi.

 

Kuhirup aroma pagi itu, jiwa dan pikiranku pun terasa segar. Aku duduk disofa kost-anku, beristirahat sejenak seraya bersiap untuk memulai perjalanan baru di lingkungan yang baru juga. Kutatap layar TV hitam yang berisikan pantulan figurku. Hingga perlahan, rasa nyaman mulai memenuhi sekujur tubuhku. Aku tak kuasa mulai jatuh ke dalam lamunan tak berujung yang berisikan memori masa laluku.

 

***

 

Perkenalkan nama lengkapku adalah Rama Wijaya, aku sering dipanggil Rama. Ayahku memberikan nama itu karena sebuah alasan yang klasik. Alasannya sama seperti orangtua lain pada umumnya, yang menggunakan nama idolanya kepada anaknya. Yang kutahu, dulunya ayahku sangat menyukai cerita legenda wayang yang sampai kini masih juga dikisahkan. Kisah legenda populer yang sangat sering diadaptasi yaitu legenda Rama dan Shinta.

 

Ayahku berasal dari desa yang masih sangat kental dengan adat istiadat Jawa. Itu sebabnya Ayahku memiliki sifat yang konservatif, efek dari lingkungan asal muasalnya. Sedangkan di sisi lain, Ibuku sudah menetap di Jakarta sejak lahir. Jika dipikir-pikir, latar belakang mereka bisa dibilang sangat berbeda dan bertolak belakang. Begitu juga dengan sifat mereka. ‘Tapi anehnya mereka bisa menikah dan berakhir hidup bersama, aneh bukan?’

 

Mereka berdua bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta yang berbeda. Secara finansial bisa dikatakan keluarga kami berkecukupan. Sejak kecil aku juga dididik untuk hidup dengan sederhana oleh orangtuaku. Mereka tak berharap aku menjadi orang yang hebat ataupun sukses, yang terpenting adalah aku dapat menjadi orang yang hidup dengan mengedepankan moral dan prinsip.

 

Aku adalah anak semata wayang alias anak satu-satunya di keluargaku. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku pasti sangat disayang dan dimanja kedua orangtuaku. Mungkin apa yang mereka pikir benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku memang merasakan kasih sayang dari mereka dari tindakan, tetapi tidak dari ucapan.

 

Sebab kedua orang tuaku memiliki ego yang sangat tinggi. Selain itu, kedua orangtuaku sangat sering berselisih pendapat dan bertengkar. Itulah sebabnya aku menjadi orang yang kurang percaya diri dan pendiam. Hingga perlahan tanpa kusadari aku yang saat kecil suka banyak omong, mulai sering memendam pikiran dan perasaanku sendiri saat beranjak dewasa.

 

Kehidupanku sejak kecil sampai aku menginjak bangku SMA bisa dikatakan biasa saja. Tiada kejadian unik ataupun menarik yang bisa kubanggakan. Aku hanya menjalani kehidupan yang membosankan. Aku hanya mengikuti arus dan melakukan aktivitas seperti orang lainnya tanpa mengetahui apa sebenarnya impianku itu sendiri. Jika ditanya mengapa aku tak mengetahui apa impianku sendiri? Alasannya adalah karena aku tak melihat bakat atau talenta yang menonjol dari diriku.

 

Sebenarnya aku sudah mencoba banyak hal, Olahraga? Saat bermain sepakbola, aku hanya menjadi pemain figuran yang bahkan hampir tak pernah menyentuh dan dioper bola oleh rekan timku. Musik? Saat menyentuh gitar, otak dan jari-jemariku tak bisa memahami dan sejalan saat mempelajarinya. Begitu juga saat bernyanyi, suaraku terdengar seperti orang yang sedang tercekik. Hingga pada akhirnya aku menyerah untuk serius mempelajarinya.

 

Aku masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apakah aku tidak memiliki bakat sama sekali? Jika terus begini, apakah aku dapat menikmati hidup kedepannya?. Aku ingin menjalani hidup sesuai dengan passion dan hal-hal yang kucintai, agar aku bisa menikmati hidup dan tak menyesal dikemudian hari.

 

Hingga didalam perenunganku, aku menyadari disekitarku ternyata banyak orang yang bernasib sama seperti diriku dan masih bisa hidup dengan baik-baik saja kok. Oleh sebab itu aku berusaha untuk menerima keadaanku, walau sejujurnya aku merasa minder dan iri saat melihat orang lain yang bisa memamerkan bakatnya.

 

Saat sedang asik melamun, tiba-tiba seseorang mengejutkanku dengan teriakannya dari arah belakang.

 

“Woi, pagi-pagi dah ngayal aja lo hahaha.” ucap seorang pria

 

“Bangke.” ucapku sambil terpenranjat dari sofa yang kududuki.

 

“Ngayal apaan coba lo? Ngayal cewek yang lagi bugil ya? Hahaha” ejeknya

 

“Lo kira gw mesum kayak otak lo. Gw sampe ngayal gini gara-gara nungguin lo yang dandannya lama banget.” balasku dengan kesal

 

“Yaudah, berangkat yok.” ucapnya sambil merangkul bahuku.

 

Kami berdua pun melangkah menuju pintu keluar kost-an. Sebenarnya pagi ini kami berdua pertama kalinya akan berangkat menuju kampus sebagai mahasiswa yang melaksanakan ospek. Sebelumnya, pria yang berbicara dan merangkul bahuku adalah Steven.

 

Dia adalah satu-satunya sahabat yang kupunya sepanjang hidupku saat itu. Bisa dibilang dia termasuk salah satu siswa terpopuler di sekolahku. Alasannya adalah karena dia memiliki wajah yang tampan kebule-bulean dan postur tubuhnya yang tinggi seperti model. Ditambah lagi dengan sifatnya yang ramah dan humoris, membuat dia selalu menjadi pusat perhatian bagi kaum hawa.

 

Berbanding terbalik denganku yang memiliki wajah dan postur tubuh yang biasa-biasa saja. Begitu juga sifatku yang pendiam dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Mungkin jika ada yang unik dari diriku yang sering kudengar dari orang lain dan Steven adalah tatapan mataku. Akibatnya seringkali orang yang baru mengenalku selalu bertanya apakah aku sedang marah saat berbicara dengannya. Itu sebabnya aku mencoba untuk tidak menatap orang lain disekitarku, agar mereka tak berprasangka buruk nantinya.

 

Sebenarnya Steven seringkali mengoceh kalau aku sebenarnya memiliki wajah yang tampan. Tapi aku tidak percaya dan tak menggubris omongan darinya. Karena aku menganggap dia hanya berusaha membantuku untuk menaikkan kepercayaan diri. Jadi aku mengiyakan apa saja ocehannya agar tidak berkepanjangan.

 

Jika diumpamakan, Steven adalah cahaya yang terang benderang sedangkan aku adalah bayangan yang bersemayam didalamnya. Tapi kedua hal itu tidak dapat terpisah, mungkin itu sebabnya kami dapat menjadi sahabat walau memiliki image yang sangat kontras.

 

Kami berdua kenal pertama kali pada saat kelas 1 SMP, kebetulan waktu itu kami berada dikelas yang sama. Saat ini kami baru saja lulus dari jenjang pendidikan SMA. Dulunya, beberapa hari setelah lulus ujian nasional, kami berdua memutuskan akan melanjutkan pendidikan ke universitas dan jurusan yang sama di Jakarta. Setelah menjalani semua proses registrasi dan test, untungnya kami berdua diterima di universitas itu. 

 

Berhubung jarak antara rumah dan kampus kami yang tergolong sangat jauh. Aku dan Steven berinisiatif untuk hidup ngekost di dekat daerah kampus. Untungnya kedua orangtua kami setuju dan memperbolehkannya. Hitung-hitung menambah pengalaman agar kami bisa hidup lebih mandiri kedepannya.

 

***

 

Karena sedang asik mengobrol, tak terasa ternyata posisi kami sudah berada tak jauh dari gerbang masuk kampus. Disana terlihat banyak mahasiswa baru yang sedang berbondong-bondong dan bergegas memasuki gerbang.

 

"Ram, ternyata sesuai ekspektasi gw. Disini emang banyak banget cewek cantiknya ya. Ga nyesel dah gw masuk kampus ini." celetuk Steven sembari celingak-celinguk memandangi para kaum hawa yang berada disana.

 

"Masih sempet-sempetnya aja lo liatin cewek. Perhatiin panitia ospeknya tuh, matanya udah sampe mau keluar buat melototin kita." sindirku pada Steven sambil bergegas melangkah menuju lapangan.

 

Setelah sampai di lapangan, semua mahasiswa baru langsung disuruh berbaris dengan mengikuti instruksi dari panitia. Lalu kegiatan dilanjutkan dengan kata sambutan dari Rektor dan para pejabat kampus. Pidatonya terasa sangat formal dan membosankan. Aku tak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan, sebab aku memilih untuk menikmati lamunanku. Hanya sesekali aku menoleh dan memperhatikan mahasiswa yang ada disekitarku, untuk memastikan keadaan.

 

Akhirnya setelah upacara penyambutan yang membosankan itu selesai. Kami diarahkan untuk kembali ke fakultas kami masing-masing. Disana kami disuruh untuk berbaris lagi, walau dalam suasana yang berbeda. Suasana tegang dimana banyak mata sinis memandangi kami dari ujung kaki sampai ujung kepala.

 

Dan tibalah saatnya panitia ospek melaksanakan tugas dan pertunjukan dramanya. Seperti berteriak sekeras mungkin sambil mencari kesalahan para peserta ospek. Selain itu mereka juga memberi tugas-tugas aneh yang sebenarnya aku tak mengerti apa tujuan dan manfaatnya.

 

Setelah selesai mengecek pakaian, perlengkapan dan melabrak para mahasiswa baru, kegiatan selanjutnya pun dimulai.

 

"Waktunya pembagian kelompok." teriak salah satu panitia ospek di podium.

 

Pada saat pembagian kelompok, panitia ospek sengaja memisahkan peserta yang dulunya berada di sekolah yang sama. Otomatis aku harus berada di kelompok yang berbeda dengan Steven. Aku terpaksa harus bersosialisasi dan bergaul dengan orang-orang baru.

 

Panitia ospekpun memanggil nomor dan membacakan nama-nama yang berada dikelompok itu satu persatu. Hingga akhirnya aku mendengar namaku terpanggil di kelompok tiga belas, yaitu kelompok yang berisikan empat orang anggota. Setelah panitia selesai memanggil semuanya, aku dan mahasiswa lainnya langsung bergegas pergi mencari anggota kelompok kami masing-masing.

 

Setelah mencari dengan susah payah, akhirnya aku menemukan mereka yang sedang berteriak "kelompok tiga belas" sambil melambai-lambaikan tangannya. Tak memakan waktu yang lama, semua anggota kelompok kami akhirnya berkumpul. Kami langsung bersepakat untuk memperkenalkan diri masing-masing secara bergiliran.

 

Aku sengaja menunggu mereka memperkenalkan diri terlebih dahulu. Karena aku akan merasa canggung jika menjadi orang yang pertama kali memperkenalkan diri.

 

"Halo semuanya, nama gw Raka. Mohon kerjasamanya." ucap seorang laki-laki berkacamata lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

 

Kuperhatikan tampak ukuran tubuhnya yang sedang, ekspresi wajahnya terlihat cukup berkharisma. Bagiku, penampilan dan gerak geriknya terkesan seperti seorang ketua OSIS semasa aku SMA dulu. Aura yang terpancar darinya adalah aura dari para siswa-siswa teladan.

 

Lalu dilanjutkan oleh seorang wanita dengan tubuh mungil dan berkulit sawo matang. Panjang rambutnya sekitar sebahu dan ekspresi wajahnya yang selalu tersenyum membuat figurnya terkesan imut dan polos.

 

"Hai, namaku Gayatri, biasanya dipanggil Tri. Salam kenal ya semuanya." ucapnya dengan suara yang manis.

 

Sesudah Gayatri, tanpa basa-basi wanita disebelahnya langsung memperkenalkan dirinya.

 

"Salam kenal, namaku Adellia biasa dipanggil Adel." ucap wanita itu dengan nada yang tenang.

 

Tubuhnya terlihat cukup tinggi dan proporsional bagaikan seorang model. Wajahnya oriental dan kulitnya berwarna putih cerah. Tapi bagiku, yang paling menarik dari Adellia adalah ekspresi wajahnya saat tersenyum. Senyumannya terlihat sangat manis, sebab saat tersenyum matanya tampak berbentuk bulan sabit. Ditambah lagi dengan kombinasi rambut hitamnya yang panjang terurai. Sehingga dimataku, penampilannya tampak sangat elegan dan mempesona.

 

Walau memakai pakaian yang sama dengan mahasiswi yang lain, dia tampak berbeda dan unik. Gayanya terlihat sangat modis dan rapi. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang unik dan menarik sejak pertama kali aku melihat dirinya. Apa mungkin karena dia terlalu cantik? Tapi sepertinya itu bukan alasan utamanya.

 

Hingga pada akhirnya, sudah waktunya giliranku untuk memperkenalkan diri.

 

"Halo, nama gw Rama" ucapku dengan singkat dan garing.

 

Aku merasa canggung, karena dari dulu aku tidak pandai bersosialisasi dengan orang yang baru kutemui. Biasanya aku hanya bisa berkata secara singkat, jelas dan padat. Hingga suasana berubah menjadi canggung seketika. Mungkin alur dari pembicaraan langsung terpotong karena nada ucapanku yang sangat datar dan tanpa ekspresi.

 

“Hmmm, omong-omong kalian asalnya dari kota mana aja nih?” tanya Gayatri yang berhasil mencairkan suasana

 

“Gw dari Jakarta Tri.” jawab Raka

 

“Surabaya.” ujar Adellia

 

“Jakarta.” timpalku

 

Setelah dilanjutkan dengan bincang-bincang singkat dan perkenalan diri, kami langsung bergegas menemui kakak tingkat yang bertugas mengawasi dan memberikan tugas ke kelompok kami.

 

Kating yang mengawasi kelompok kami adalah seorang pria yang bernama Ansel. Kesan pertamaku saat melihatnya adalah bahwa dia orang yang ramah dan santai. Sebab aku memperhatikan dia selalu memasang ekspresi wajah yang ceria, berbeda dengan kating yang lain.

 

Sambil memegang selembar kertas ditangannya, dia mulai berbicara.

 

“Untuk Kelompok tigabelas, ini daftar peralatan dan tugas yang harus kalian kumpulkan untuk ospek besok. Jadi, jangan sampai ada yang telat dan gak lengkap, OK?" ujar Ansel sambil menyerahkan kertas itu kepada Raka

 

Setelah menjelaskan semua yang penting, Ansel langsung pamit dan pergi meninggalkan kami. Dikarenakan waktu sudah menunjukkan pada pukul lima yang artinya sudah waktunya kegiatan ospek hari ini berakhir. Sementara itu, kelompok kami harus berdiskusi dan membagi tugas terlebih dahulu sebelum pergi pulang. Kami berinisiatif untuk membuat groupchat untuk mempermudah komunikasi.

 

Kebetulan saat itu diskusi kelompokku selesai lebih cepat daripada kelompok Steven. Jadi, aku masih harus menunggu didepan pintu gerbang kampus. Sambil menunggu Steven menyelesaikan diskusi dengan kelompoknya, aku hanya memperhatikan mahasiswa lainnya yang melangkah berkeliaran keluar dari kampus.

 

Tak lama kemudian, setelah menunggu sekitar sepuluh menit akhirnya aku bertemu dengan Steven. Tanpa berpikir panjang, kami langsung memutuskan untuk pergi pulang. Kami hanya mengobrol dan bercanda santai disepanjang perjalanan pulang.

 

"Ram, gimana tadi kelompok lo? Ada yang cantik gak disana?" tanya Steven sambil cengar-cengir.

 

"Hadeh, kalo ada yang cantik juga gak akan gw kasih tau ke lo. Kasian tuh cewek, kalo bakal jadi korban lo selanjutnya." ucapku

 

"Yah gak asik lo ahh, coba kenalin ke gw dong. Soalnya dikelompok gw rata-rata cowok smua coy." keluh Steven

 

"Hahaha rasain, makan dah tuh batang." ejekku

 

“Emang kampret dah lo.” Balasnya sambil memukul pelan perutku

 

“Omong-omong, kating lo cewek apa cowok Ram?” tanya Steven

 

“Cowok, kalo lo?” tanyaku balik

 

“Cewok Ram.” jawabnya sambil terkekeh

 

“Ha? Maksudnya?” ucapku dengan bingung

 

“Setengah cewek, setengah cowok.” balasnya sambil menahan tawa

 

Mendengar ucapannya hanya bisa membuatku menggeleng-gelengkan kepala.

 

Sembari diperjalanan pulang, tak sengaja aku melihat Adellia yang sedang berjalan sendiri tidak jauh dari posisiku. Tapi anehnya aku melihat dia seperti sedang berbicara sendiri sambil sesekali menoleh ke arah kirinya yang kosong. Hingga tak lama kemudian, saat aku sedang asik memandang figurnya. 

 

Tiba-tiba Adellia menoleh kebelakang dan membalas pandanganku.

 

***

 

Saat pandangan kami saling bersentuhan, seketika aku dan Adellia berhenti melangkah. Ruang dan waktu serasa terhenti, hanya menyisakan kami yang saling memandang satu sama lain.

 

Entah kenapa, aku tak bisa melepaskan pandanganku dari pandangan matanya. Hingga jantungku mulai terasa berdebar-debar dengan sendirinya. Begitu juga rasa gugup yang mulai datang dan memenuhi sekujur tubuhku.

 

Mungkin ini yang disebut-sebut orang dengan cinta pada pandangan pertama. Baru kali ini aku merasakan hal semacam ini, rasanya sangat aneh. Dimana ada rasa senang dan gugup yang bercampur menjadi satu.

 

Saat aku terhanyut didalam pikiranku sendiri, tiba-tiba aku merasakan rasa sakit dibagian pundakku.

 

"Ternyata lo bisa mupeng juga ya Ram." bisik pelan Steven ditelingaku.

 

Sialan, ternyata Steven sedang memandangku dengan ekspresi tengilnya sembari mencubit pundakku berkali-kali.

 

"Ha??? Mupeng pala lo peang, gw sama dia sebenarnya satu kelompok ospek tau." jawabku dengan terbata-bata

 

"Gila, cantik bener dah.” ucap Steven dengan ekspresi mesumnya

 

“Bantu kenalin ke gw dong Ram, itung-itung bantuin temen lo yg ganteng ini." pinta Steven dengan pedenya.

 

"Kenalan sendiri sana, gw juga baru kenal waktu ospek tadi. Lagian, nanti habis ospek juga dia udah lupa sama gw.” jawabku dengan pesimis. 

 

"Yah elu mah kebiasaan, belom nyoba udah nyerah duluan. Gw yang gerak nyamperin dia dluan deh, bye-bye." ucap Steven lalu berlari cepat menuju Adellia.

 

Belum sempat kurespon, lagi-lagi anak ini melakukan hal gila sesukanya. Mau tak mau, aku harus mengejarnya walau harus menanggung malu nantinya.

 

"Woi bangke, lo jangan malu-maluin gw ven." panggilku dengan frustasi.

 

"Hai, kenalin nama gw Steven" ucap Steven sambil tersenyum sekaligus menjulurkan tangannya kepada Adellia.

 

Dengan nafas tergesa-gesa aku berdiri gugup disamping Steven yang sedang menjulurkan tangannya.

 

"Emang gila nih anak." ucapku didalam hati.

 

"Adellia" balas Adel singkat dengan senyum kecil sembari membalas uluran tangan dari Steven.

 

Melihat respon Adellia yang positif, Steven tersenyum sumringah lalu melanjutkan aksinya seraya mulai bertanya basa-basi ala playboy cap buaya.

 

“Omong-omong, asalnya darimana del?” tanya Steven dengan penuh ceria

 

“Surabaya.” jawab Adellia dengan nada datar

 

Steven menaikkan salah satu alisnya lalu bertanya “Wah, kok sampe jauh-jauh datang kesini del?”

 

Adellia tampak berpikir sejenak, lalu menjawab Steven dengan suara pelan “Mau belajar mandiri aja sih sebenarnya.”

 

“Ohhh, datang kekota ini cuma sendiri doang berarti?” tanya Steven tak habis-habisnya

 

“Iya.” balas Adellia singkat

 

“Kalo boleh tau, tinggal dimana sekarang del?” tanya Steven

 

Aku merasa Steven terlalu agresif dan takutnya akan membuat Adellia merasa tak nyaman.

“Hush, banyak nanya lo.” potongku

 

“Yaelahh, jangan sewot napa. Adellianya aja kagak marah tuh.” balas Steven lalu menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.

 

Adellia hanya tersenyum memerhatikan interaksi kami berdua.

 

“Gpp kok Ram haha. Kost-anku di sekitaran ini sih, tepatnya di gang kedua yang ada di jalan besar.” jawab Adellia santai

 

“Lah, sama dong.” ucap Steven dengan heran.

 

“Kalo kamu tinggal dimana Ram?” tanya Adellia tanpa memedulikan reaksi Steven.

 

“Ha? Kenapa del?” tanyaku dengan gugup.

 

“Dia nanya lo tinggal dimana pret.” ucap Steven sambil menyikut lenganku.

 

“Oooo, di gang dua jalan besar del, gw barengan sama Steven ngekostnya.” jawabku

 

Belum sempat Adellia merespon, Steven langsung memotong.

“Nah, kalo gitu kita baliknya bareng aja del hehehe.” ucap Steven dengan cengiran di wajahnya.

 

“Hmmm… Boleh juga tuh, oh iya besok mau bareng juga gak Ram berangkat ospeknya?” tanya Adellia sambil menatap mataku.

 

Aku merasa aneh, kenapa Adellia selalu melontarkan pertanyaan kepadaku? Bukan melontarkan pertanyaan balik ke Steven?. Tapi aku tak mau berpikir aneh-aneh dan berharap, yang ada nantinya aku malu sendiri karena apa yang kusangka tak sesuai ekspektasiku.

 

“Boleh del.” jawabku sambil menganggukkan kepala.

 

“Tapi ntar ketemuannya dimana del?” tanyaku

 

“Minta nomor HP kamu aja Ram, ntar aku kabarin lewat chat aja gimana?” balas Adel

 

Karena tak terbiasa mengingat nomor handphoneku sendiri, dengan sigap aku langsung merogoh handphone yang ada di saku celanaku. Lalu mencari namaku sendiri di daftar kontak handphoneku. Setelah mendapatkannya, aku langsung memberi handphoneku ke Adellia.

 

“Nih del.” ucapku sembari menyerahkan handphone.

 

Setelah selesai menyimpan nomor handphoneku, Adellia mengembalikannya kembali kepadaku sembari berkata.

“Ini udh gw save ya Ram, gw kasih nama mata elang di kontak gw.” ucapnya sambil menahan tawa

 

Mendengar itu, Steven menatapku sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Pffftttttt hahaha…” Steven tak kuasa menahan dan tawanya pun seketika meledak

 

Sedangkan aku hanya bisa terpaku diam dan berusaha menahan malu.

 

“Telinga lo kok merah gitu Ram, hahaha.” ejek Steven lagi.

 

“Diem lo.” ujarku ke Steven sambil mendorong badannya.

 

Bukannya berhenti, tiba-tiba Steven mendekat ke sebelahku lalu berbisik pelan ditelingaku.

 

"Lo naksir ya sama dia? dari tadi mupeng mulu lo liatin dia." ejek Steven dengan ekspresi tengilnya.

 

Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Steven. Semoga saja Adellia tidak mendengar ucapannya, karena aku tak ingin dia merasa tidak nyaman karena itu. Tanpa basa-basi, aku langsung membalas keisengannya dengan mencengkeram keras kedua pundaknya. Seketika dia langsung meringis dan menjerit kesakitan.

 

“Kalo kagak diem, gw lanjutin lagi nih.” ancamku dengan kesal.

 

“Iye-iye ... udahan nih ... kagak gw lanjutin lagi.” ujar Steven tanda menyerah.

 

Adellia hanya tersenyum melihat tingkah tak akur dari kami berdua. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan pulang ke arah yang sama. Sepanjang perjalanan pulang, kami bertiga hanya mengobrol santai mengenai ospek yang akan diadakan besok. Dan pastinya yang selalu mengoceh adalah Steven.

 

Hingga tak terasa, kami sudah sampai di gang dua. Mau tak mau, kami harus berpisah dan masuk ke dalam kost kami masing-masing.

 

Sambil tersenyum, Adellia berpamitan dengan kami didepan kost-annya. “Gw masuk duluan ya.” ucapnya

 

Aku hanya mengangguk ke arahnya, sedangkan Steven membalas ucapannya “Ok del, sampai ketemu besok lagi.” sambil mengedipkan salah satu matanya.

 

“Rasanya pengen gw jedorin ke tembok nih playboy.” ucapku dalam hati.

 

Setelah masuk kedalam kost, aku dan Steven langsung masuk ke kamar kami masing-masing. Aku bergegas mandi untuk membersihkan tubuhku yang sudah terasa sangat lengket. Efek dari seharian mengikuti aktivitas ospek yang sangat melelahkan.

 

Selesai mandi, aku melanjutkan beres-beres di kamar sembari mempersiapkan peralatan dan juga mengerjakan tugas ospek untuk besok. Saat sedang sibuk mengerjakan tugas ospek, tiba-tiba aku mendengar suara handphoneku yang berbunyi, tanda adanya pesan yang masuk.

 

Sepertinya pesan yang kutunggu-tunggu telah tiba. Aku langsung bergegas mengeceknya dan ternyata benar sesuai dugaanku, itu adalah pesan dari Adellia. Entah kenapa aku merasa senang saat menerima pesan darinya, sampai aku menjadi senyum-senyum sendiri seperti orang yang sudah gila.

 

Adellia: Tugas ospeknya udah kelar belum?

Rama : Masih ngerjain nih. Kalo lo gimana?

Adellia : Ini baru kelar, makanya langsung ngechat kamu.

Rama : Wah… kok bisa cepet bener ngerjainnya.

Adellia : Haha, omong-omong besok kita ketemuannya dimana nih?

Rama : Dipersimpangan gang aja del.

Adellia : Ok deh, supaya gak telat kita ketemuannya jam 7.10 ya.

Rama : Ok sip.

Adellia : Lanjutin ngerjain tugasnya gih, jangan ampe begadang.

Rama : Iyaaa, gw off dluan yaa.

Adellia : Byeee…

 

Selesai saling bertukar pesan, aku langsung melanjutkan mengerjakan tugas dan mempersiapkan peralatan untuk ospek besok. Setelah memakan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan semuanya, tak terasa waktu sudah jam dua malam. Tak terasa aku sudah berjam-jam mengerjakan semua tugas ospek yang ribet ini. Aku masih bingung kenapa Adellia bisa menyelesaikan tugasnya secepat itu. Kalau dia sepintar itu, dia benar-benar sosok wanita yang sempurna, baik itu secara fisik maupun intelektual.

 

Berhubung sudah sangat larut malam, aku langsung bergegas tidur secepatnya agar tidak telat esok paginya. Suasana malam itu terasa sangat hening, hanya suara kipas angin yang memenuhi seisi ruanganku. Tubuh dan pikiranku terasa sangat rileks, hingga secara perlahan kesadaranku pun mulai memudar.

 

Tak tahu sudah berapa lama kesadaranku menghilang. Hingga disaat tersadar, yang ada dipandanganku adalah sebuah pantai yang luas. Tampak juga lautan yang tak terlihat ujungnya beserta pasir berwarna emas dipesisirnya. Langit tampak biru cerah, membuat suasananya terasa sangat tenteram.

 

Baru saja mencoba untuk memerhatikan semua yang ada disekitarku. Tiba-tiba muncul dentuman besar seperti bom yang berhasil membuatku terkaget-kaget. Saat kuperhatikan, ternyata itu adalah suara dari dentuman ombak yang sedang saling menghantam. Berkat suara itu, aku mulai bisa sadar sepenuhnya, bahwa apa yang kurasakan ini terasa sangat nyata.

 

Aku baru menyadari bahwa tubuhku ternyata sedang melayang di udara. Saat kucoba bergerak, ternyata tubuhku bisa terbang dan melaju dengan kecepatan yang luar biasa, bagaikan kecepatan supersonik. Aku juga bisa merasakan gesekan angin yang sangat lebat disekujur tubuhku.

 

Karena penasaran, aku mencoba melayang dan bergerak menjelajah sekitar. Saat bergerak menyusuri pantai, ternyata terdapat hutan di sebelah kanan pantai tersebut. Tetapi aku merasakan hawa-hawa tidak enak yang membuatku takut berasal dari sana, jadi aku memutuskan untuk menjelajahi laut didepanku saja.

 

Baru beberapa detik aku bergerak ke arah laut, Tak sengaja aku melihat ombak yang sangat tinggi bagaikan tsunami mulai bergerak mendekat ke arahku. Ombak itu bergerak dengan sangat cepat dan liar, dan anehnya aku merasa ombak itu jelas-jelas sedang mengincarku.

 

Instingku menyiratkan bahwa ada sesuatu yang bersemayam di ombak itu. Secara spontan, aku langsung melarikan diri dan mencoba menjauh dari ombak tersebut. Tetapi sialnya, posisi jarak ombak itu malah semakin mendekatiku. Anehnya aku merasa sedang bergerak di tempat, apakah usahaku untuk melarikan diri sia-sia?. Dan benar saja, jika kuperhatikan ternyata aku melihat jarak antara posisiku dan pesisir pantai masih tetap sama.

 

Perlahan demi perlahan ombak itu mulai mendekatiku. Begitu juga rasa takut yang menyelimutiku hingga membuatku menjadi diam kaku. Saat ombak itu berada didepan mataku, aku hanya bisa menerimanya dengan pasrah. Aku menyesal, kenapa aku memilih pergi menjelajahi lautan yang ada didepanku pada awalnya.

 

Hingga pada akhirnya ombak itu berhasil menangkap dan menenggelamkan diriku. Seketika aku tersentak dan melihat langit-langit kamar kostku sendiri. Perlahan aku menyadari bahwa yang kualami tadi hanyalah sebuah mimpi. Tapi apakah mimpi bisa terasa senyata itu? Aku menjadi merasa bingung dan ragu.

 

Begitu juga dengan kondisi tubuhku. Anehnya setelah terbangun, aku merasakan tubuhku terasa sangat ringan dan rileks. Tubuhku seperti penuh dengan energi dan juga dikerumuni udara sejuk yang segar. Jika diibaratkan, rasanya seperti sehabis mandi pagi.

 

Walaupun merasa segar, rasa takut dari mimpi itu masih terngiang diingatanku. Soalnya ini pertama kalinya aku mengalami mimpi senyata itu. Tak lupa, aku coba mengecek jam di handphoneku. Angka yang ditunjukkan di layar adalah angka empat, artinya waktu tidurku tadi hanya berkisar dua jam saja.

 

Aku merasa aneh dan bingung kenapa tubuhku rasanya tidak lelah. Rasa kantuk yang menghantuiku tadi malam juga menghilang seketika. Aku berbaring dan termenung diatas kasur sejenak. Hingga perlahan aku sadar, bahwa pagi ini aku harus bangun dengan cepat. Akan gawat ceritanya jika aku telat di hari ospek. Mau tak mau, aku harus memaksa diriku untuk tidur kembali.

 


Update setiap hari Jumat


You must Register or Login to post a comment