KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Way Back Home | Chapter 3 : Am I Happy?

4 Juli 2021

Way Back Home | Chapter 3 : Am I Happy?

Namaku Hokuto. Usiaku kurang lebih seribu lima ratus tahun. Sudah tua, hm? Banyak orang yang tertipu karena penampilanku. Lagi pula, siapa yang akan percaya akan kehidupan yang abadi?

 

Percaya atau tidak, aku tidak berbohong akan hal ini. Kehidupan abadi memang terjadi padaku. Senang? Tidak. Tidak ada orang yang senang jika mendapatkan kutukan berkedok hadiah. Ya, kehidupan yang abadi ini adalah kutukan bagiku. Aku pantas mendapatkannya, mengingat apa yang sudah aku lakukan di masa lalu.

 

Ini adalah kisahku. Kisah sang kaisar yang dikutuk akibat kekejamannya. Dan ia harus menanggung semua beban penderitaan ini sepanjang hidupnya yang entah kapan akan berakhir.

 

-*-

 

"A-ampuni aku! Aku menyesal, Tuan. Kumohon, aku punya banyak anak dan istriku tidak akan sanggup menanggung mereka semua. Ampuni aku!"

 

"Wah, wah. Bajingan ini sekarang meminta pengampunan, eh? Apa kau pikir semuanya akan selesai hanya dengan kau bersujud di kakiku seperti ini?" tanganku terangkat, memberi isyarat kepada pengawalku. Dengan sigap, ia pun menyerahkan sebilah pedang kepadaku. "Jangan khawatir. Istri dan anakmu akan segera menyusulmu setelah ini".

 

"Kau punya kalimat terakhir, hm?"

 

"Kaisar Yang Agung, aku mohon. Jangan sakiti keluarga-"

 

Noda darah menghiasi pipiku. Aku tidak bisa menahan seringaian serta tawaku dikala melihat kepala tak berguna itu menggelinding menjauhi tubuhnya. "Aah~ aku tidak bisa mendengarnya. Apa kalian dengar sesuatu? Tidak, bukan? Pria yang malang".

 

Aku menepis darah di pipiku dengan ibu jari. "Hei, Yoru. Bawakan bola matanya untukku dan bersihkan semua kekacauan ini. Ayo, kita kunjungi rumahnya. Aku tidak sabar untuk menyampaikan bela sungkawa, khehehe~"

 

Namaku Hokuto. Di usiaku yang baru menginjak dua belas tahun, aku sudah diangkat menjadi kaisar dengan menggulingkan ayahku sendiri. Kenapa? Karena pak tua itu tidak akan sanggup mengemban tugas ini lebih lama lagi. Ibuku? Tenang saja, beliau mendukung apa yang aku lakukan. Karena baginya, posisi selir terlalu memuakkan. Maka, ia pun membesarkanku dengan ambisi untuk meraih singgasana.

 

Ayah tidak punya anak laki laki selain aku. Bahkan permaisuri pun hanya memiliki tiga anak perempuan. Itulah kenapa beliau lebih menyayangiku dan ibuku. Namun, ibuku bukanlah seorang permaisuri. Ia juga tidak seperti manusia pada umumnya.

 

Kenapa? Karena ia merupakan seorang siluman yang dulunya hidup di hutan nan jauh di sana. Aku tidak begitu tahu akan pertemuannya dengan ayahku. Satu hal yang pasti. Sebagai keturunan siluman, siapa yang ingin menjadikanku sebagai pemimpin negeri ini?

 

Selama sepuluh tahun, aku mempelajari banyak hal. Mulai dari cara mempimpin kerajaan serta bagaimana seharusnya bersikap layaknya seorang kaisar. Ambisi yang aku miliki pun kian lama semakin membuncah. Membuatku menghalalkan segala cara agar bisa menjadi kaisar di usia muda. Bahkan, dengan membunuh ayah kandungku sendiri. Anak yang durhaka, bukan? Setelah diberikan begitu banyak kasih sayang. Aku membalas semuanya dengan hal sekeji ini. Bagaikan membalas air susu dengan air tuba.

 

Umur bukanlah penentu. Orang bisa saja lebih dewasa di bandingkan dengan usia asli mereka. Tiga tahun menduduki singgasana, dan selama itu pula lah aku menguasai banyak kerajaan lain. Perang, perang, dan perang.

 

Menjajah suatu daerah bukanlah hal yang asing lagi bagiku. Hal itu sudah seperti hobi yang membuatku candu. Dan kini, daerah kekuasaanku semakin luas. Aku semakin berkuasa. Siapa yang tidak mau menundukkan kepalanya di hadapanku, maka bersiaplah kehilangan kepala mereka untuk selamanya.

 

Hokuto, sang siluman yang haus darah.

 

Pft, gelar macam apa itu? Mereka sering memanggilku demikian. Yah, terserah. Aku tidak peduli. Bagiku, kekuasaan di atas segalanya. Tidak masalah jika harus membunuh siapa pun dan merusak apa pun. Selama tujuanku terpenuhi, selama rasa sakit ibuku terbalaskan.

 

Lima tahun pun berlalu. Di usiaku yang sudah kepala dua, sebuah hal tak terduga pun yang terjadi.

 

Aku bertemu dengannya.

 

Saat itu, aku sedang mencoba menguasai daerah utara. Daerah itu cukup sulit untuk ditaklukkan mengingat banyaknya prajurit yang cukup telaten di sana. Butuh waktu lama bagiku hingga akhirnya berhasil menaklukkan pemimpin mereka.

 

"Usaha yang bagus, pak tua. Di usiamu ini sebaiknya kau tidak terlalu banyak melawan agar aku bisa memberikan kematian yang mudah bagimu," aku mendengus sembari menghunuskan pedangku ke arahnya. "Kau masih berani menatapku dengan angkuh, hm? Ah, aku dengar kau punya seorang putri. Bagaimana jika kau-"

 

"Jangan beraninya kau menyentuh putriku walau hanya sehelai rambut, siluman!" hardiknya. Uh oh, ternyata dia ayah yang protektif.

 

"Oh ya? Tapi.." kalimat yang menggantung diiringi dengan tatapan yang mengarah ke belakang. Tampak seorang gadis dengan pakaian berwarna putih bersih tengah diseret paksa oleh seorang pengawal.

 

"Kau- lepaskan putriku!! Kau boleh melakukan apa pun terhadapku, tapi jangan putriku!" pak tua itu berusaha memberontak. Terlebih saat ia mendengar rintihan dari sang putri.

 

"Apa pun?" tanyaku. "Kalau begitu, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?" ia menatapku sejenak. Mencoba mencari sesuatu dari riak wajahku.

 

Aku berbalik, mataku menangkap sosok yang tengah memakai cadar, menutupi wajahnya dan hanya menampakkan bagian mata. Sungguh, aku merasa penasaran dengan wajah yang tertutup di balik kain itu.

 

"Kesepakatan apa yang kau maksud?" ujarnya setelah beberapa saat. Dengan enggan, aku pun kembali menatap pria tua itu. "Apa ini berhubungan dengan putriku?" aku menyeringai.

 

"Hm.. Aku rasa demikian. Bagaimana jika kau mempercayakan putrimu kepadaku? Maka dari itu, aku akan mengampuni nyawamu. Penawaran yang saling menguntungkan, bukan? Sungguh, siluman ini sangat jarang bernegosiasi dengan mangsanya. Bersyukurlah karena kau aku beri kesempatan langka ini," tak ku sangka, raut wajahnya berubah jadi marah.

 

"Jangan harap! Aku tidak akan membiarkan putriku berada di tanganmu! Aku tidak bisa percaya dengan siluman licik sepertimu! Aku akan-"

 

"Terlalu banyak bicara," pedangku menancap tepat di jantungnya. Tak ada lagi tanda tanda kehidupan dari pria yang telah tergeletak di depan kakiku ini.

 

"Auch-" gadis itu mencoba memberontak saat aku mencengkram pergelangan tangannya. "Saat ini kau sudah menjadi tawananku. Mau tidak mau, kau harus ikut denganku ke istanaku".

 

Aku menelusuri tubuhnya dari atas hingga bawah. Sebuah seringaian pun mengambang di wajahku. Entah kenapa ia terasa begitu menarik di mataku walau aku belum melihat wajahnya.

 

Selama ini tidak ada orang yang mampu menatapku tepat di mata. Berbeda dengannya. Aku rasa bisa menyimpan orang ini bersamaku.

 

"Aku tidak bisa mengampuni nyawa ayahmu karena keras kepalanya. Tapi, aku mengampuni nyawamu. Sebagai gantinya, kau harus ikut denganku dan tanpa penolakan," ujarku mutlak. "Jika kau menolak, berarti kau bersedia mati ditanganku," aku rasa senyumanku membuat ia ketakutan. Terlihat jelas dari gelagatnya.

 

Aku menarik tangannya yang masih digenggamanku. Namun, ia menghentikan langkahku. Aku menoleh dengan tatapan bertanya.

 

"Saya lebih memilih mati daripada harus hidup sebagai budak anda," gumamnya pelan. Akan tetapi itu cukup terdengar bagiku di ruangan nan sepi ini. Apa katanya? Dia lebih memilih mati?

 

"Tidak, aku tidak ingin melepaskan mangsaku begitu saja," ujarku dengan penekanan pada kata mangsa. Ia tampak mengepalkan tangannya dengan kuat. "Kenapa? Harga dirimu tercoreng, tuan putri? Hidupmu yang tadinya dipenuhi kasih sayang dan harta yang berlimpah kini berubah menjadi seorang budak yang menyedihkan," aku terkekeh. "Tapi, percayalah. Kau mangsa yang istimewa".

 

Aku kembali menarik tangannya dengan sedikit paksa. Membuatnya mau tak mau harus mengikuti langkahku. "Aku tidak akan membiarkanmu lepas dari genggamanku".

 

-*-

 

Aku bisa mengartikan tatapan Yoru kepadaku saat ini. Dengan nada malas, aku pun menyuruhnya untuk berbicara. Sesaat ia menolak. Akan tetapi akhirnya lelaki yang lebih tua dariku itu pun membuka suara.

 

"Kenapa anda mengistimewakan seorang tahanan? Apa karena dia seorang wanita?" ah, ternyata sedari tadi ia memikirkan tentang mangsaku yang baru.

 

"Tentu saja bukan. Apa kau pikir selama ini aku pernah memandang seseorang berdasarkan gender?" aku mengubah posisi agar terasa lebih nyaman sembari menyesap minumanku. "Baik pria atau pun wanita. Pedangku tidak akan segan segan untuk menghilangkan nyawa mereka".

 

"Lalu bagaimana dengan gadis muda itu? Anda bahkan memberikan ruangan istimewa dan berbagai pakaian indah kepadanya," mata sewarna batu obsidian itu menatap curiga. "Apakah anda menyimpan sebuah rasa kepadanya?"

 

Geli. Rasanya ada sesuatu yang menggelitik perutku saat Yoru menyampaikan bagian terakhir dari kalimatnya. Membuatku mendengus dan ingin tertawa. "Apa yang membuatmu berpikir demikian?"

 

Dapat aku lihat, seulas senyuman mengambang di wajahnya. "Anda sudah memasuki usia di mana ada hal hal yang harus dimengerti selain perang dan kekuasaan, Yang Mulia".

 

Sebelah alisku terangkat. Bingung dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Selain perang dan kekuasaan?" ia mengangguk.

 

"Sesuatu yang harus anda pelajari sendiri seiring berjalannya waktu. Dan saya rasa, hal ini juga mampu mengubah hidup anda kedepannya".



; Way Back Home Chapter 4 ;

You must Register or Login to post a comment