KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Holiday Girlfriend | Chapter 2

27 Juni 2021

Holiday Girlfriend | Chapter 2

Kantor wedding organizer bernama ‘Aranthea’ itu seperti diguncang gempa.

 

“Buahaha! Bego! Bego banget sih lu, Num? Bisa-bisanya bos hotel segede Pavilion lu kira cleaning service! Buahaha!” Bimo tertawa guling-guling.

 

“Diem ah lu, Bim!” protes Ranum seraya melempar gulungan benang pada Bimo yang tak berhenti menertawainya. Laki-laki itu terbatuk sebentar karena kehabisan nafas, tapi kemudian terkikik lagi mengingat kebodohan Ranum.

 

“Habisnya lu juga sih, Num, masa nggak bisa bedain penampilan bos sama cleaning service?” Arina menyahut dari samping Bimo. Ia pun belum bisa menghentikan tawanya.

 

“Habis dia bawa-bawa kain lap sama pel sih. Mana di depan toilet lagi! Bajunya juga kayak pegawai training sampai gua nggak tahu kalau dia itu bosnya Pavilion! Siapa aja yang ngeliat penampilannya saat itu pasti juga bakalan ngira dia kalau dia tuh cleaning service!” Ranum tidak mau kalah. Ia melirik pada Rhea dan temannya yang lain, Sakti, “Ya, Ti, bantuin dong! Malah ikutan ketawa!”

 

“Habisnya lu lucu sih, Num. Mana mungkin gua bisa berhenti ketawa kalau kebodohan lu segede itu! Jangan-jangan nanti presiden lu kira sopir, lagi!” sahut Sakti kemudian meninjukan kepalan tangannya dengan Bimo yang ada di sebelahnya.

 

Wajah Ranum memerah dan seakan berubah menjadi tomat. Wanita itu menjatuhkan wajahnya di atas tumpukan kain yang ada di mejanya kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Melihat hal itu, teman-temannya bukannya merasa kasihan, tapi malah tertawa semakin keras.

 

*****

 

“Num, gimana udah jadi belum payetnya?” Rhea tiba-tiba muncul di ruang kerja Ranum dan bertanya padanya.

 

“Udah, Ya. Pas banget. Mbak Sari katanya mau fitting hari ini kan?” jawab Ranum sementara tangannya masih sibuk merapikan bagian bawah gaun pengantin itu, “Mbak Sari jam berapa datang kesini?”

 

Rhea melihat jam tangannya, “Dua jam lagi. Gaunnya taruh di ruang fitting dulu yuk,” ajaknya dan Ranum pun mengangguk setuju.

 

Ranum dan Rhea kemudian membawa gaun pengantin yang baru saja selesai pengerjaannya itu ke ruang fitting. Di ruang fitting yang tidak terlalu besar itu berjejer puluhan gaun pengantin segala model yang begitu indah. Semua gaun pengantin yang ada di sana adalah buatan tangan Ranum dan Rhea. Biasanya Rhea akan membuat desain untuk gaunnya sementara Ranum membuat detail-detail kecil seperti payet dan hiasan-hiasan lainnya.

 

“Nah, oke,” Rhea bergumam saat manekin yang memakai gaun pesanan Sari itu telah terpajang dengan benar. Ia mengamati gaun itu; sebuah gaun pengantin strapless dengan payet permata yang memenuhi bagian dada dan kemudian dipadu dengan rok berbahan satin panjang yang jatuh mengikuti lekuk tubuh. Rhea menghela nafas puas, “Nggak ada yang kurang kan, Num?” tanyanya.

 

Ranum berkacak pinggang menikmati hasil jerih payahnya itu, “Nggak, nggak ada.”

 

Tepat dua jam kemudian, klien mereka yang bernama Sari itu datang ke kantor bersama dengan ibunya. Ia mengecek berbagai persiapan untuk hari pernikahannya yang tinggal satu minggu lagi lalu beralih ke ruang fitting untuk mencoba gaun pengantin yang telah selesai dibuat oleh Ranum dan Rhea.

 

Keduanya telah mendengar dari Arina jika Mbak Sari adalah orang yang santai dan sederhana, tapi berbeda dengan ibunya. Ibu Sari adalah orang yang sedikit pemilih dan perfeksionis, sehingga sejujurnya hati Ranum dan Rhea pun berdegub kencang saat mereka memperlihatkan hasil jadi gaun itu pada ibu Sari.

 

“Wah, bagus banget, Mbak Rhea, Mbak Ranum. Pas banget sama seleraku,” ujarnya begitu senang saat gaun itu telah menempel di badannya. Wanita berambut keriting panjang itu berputar beberapa kali di depan kaca dan mematut diri, “Gimana menurut Mama?” tanyanya pada ibunya yang duduk di sofa depannya.

 

Ibunya mengangguk-angguk kecil, “Bagus, bagus. Tapi kok bagian pinggangnya bikin kamu kelihatan gendutan ya, Ri?” komentarnya kemudian yang langsung membuat Ranum dan Rhea bagai disambar petir.

 

Sari berputar lagi, “Ah masa sih, Ma? Buatku oke oke aja tuh.”

 

“Ck kamu mah apa-apanya oke. Mbak Rhea, ini bisa diperbaiki nggak?”

 

Rhea langsung melangkah maju dan memegangi bagian pinggang gaun itu, “Bisa kok, Bu. Mendingan saya ukur lagi saja ya, Mbak Sari. Biar pas,” ujarnya dan sebagai jawaban Sari hanya mengangguk-angguk.

 

Sementara Rhea menggambil meteran yang ada di ruangannya, ibu Sari mendekati putrinya dan membuka obrolan dengan Ranum, “Ini payetnya Mbak Ranum yang bikin? Bagus banget lho. Ibu suka,” pujinya. Tangannya menyentuh bagian payet berbentuk bunga dan sulur yang ada di gaun itu.

 

Ranum tersipu malu. Meski ini bukan pertama kalinya ia mendapat sanjungan seperti itu, tapi menerima pujian dari orang yang pemilih seperti kliennya ini tetap membuatnya merasa bahagia, “Terima kasih, Bu.”

 

“Oh ya Ma, gimana masalah cateringnya?” Sari bertanya.

 

“Udahlah tenang, kamu nggak usah bingung. Udah Mama urus semuanya. Mama minta Bu Siska buat kasih yang paling enak dan mewah buat pernikahanmu besok,” jawab ibu Sari penuh keyakinan.

 

Sari lalu beralih pada Ranum, “Maaf ya Mbak Ranum, sebenarnya saya agak kurang enak sama Mbak Ranum dan yang lainnya karena kemarin harus mengganti catering padahal pernikahannya sebentar lagi,” ia berhenti sejenak, “Tapi ya namanya juga keinginannya Mama. Nggak bisa dibantah, Mbak,” canda Sari. Ia lalu meringis karena ibunya mencubit lengannya.

 

“Mama kan cuma ingin yang terbaik buat pernikahanmu, Ri.”

 

“Duh Mama ini, memangnya cateringnya Pavilion kurang bagus ya?”

 

“Bagus lah, sekelasnya Pavilion masa cateringnya nggak enak? Cuma Mama kemarin pernah makan kue pengantinnya Bu Siska, eh ternyata lebih enak. Ya udah mendingan kan pakai cateringnya Bu Siska sekalian. Hitung-hitung ngasih kerjaan ke teman sendiri,” jelas ibu Sari panjang lebar.

 

Putrinya hanya mendengarkan seraya tertawa-tawa, “Iya, iya deh,” ujarnya, “Aku kirain masalah apa. Kemarin Galih sampai telepon aku lho, Ma. Dia bingung begitu dengar dari kakaknya kalau aku nggak jadi pakai catering hotel. Dia tanya macam-macam, takut kalau ada masalah sama cateringnya.”

 

Ibu Sari tertawa, “Ya wajar sih kalau Galih panik. Setelah Pak Harris pensiun, dia dan kakaknya kan yang ditugasi mengurus hotel itu,” ia lalu berkomentar.

 

Ranum yang tidak sengaja mendengar percakapan ibu dan anak itu sedikit terkejut, “Eh? Anda kenal dengan mantan direktur Hotel Pavilion, Bu?” tanya Ranum.

 

“Iya. Suami saya dan mantan direkturnya dulu teman kuliah dan masih sering berhubungan sampai sekarang. Makanya saya dan bapak ngotot agar pernikahan Sari diadakan di Pavilion,” ibu Sari menjawab.

 

Ranum mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. Namun, seketika ia mematung saat menyadari sesuatu, “Maaf bu, tadi Anda bilang kalau setelah direkturnya pensiun, teman Mbak Sari yang namanya Galih itu dan kakaknya ditugasi mengurus Hotel Pavilion kan?”

 

“Iya, benar.”

 

“Kakaknya Galih mengurus chain hotel yang di Jawa dan Bali, sedangkan Galih di Sumatera,” Sari berkata, ikut nimbrung ke pembicaraan Ranum dan ibunya.

 

“Kakaknya Galih namanya Raga. Orangnya santun, baik, ganteng lagi,” ibu Sari berkata tiba-tiba.

 

 Mendengar sebuah nama yang familiar tersebut dalam kata-kata Ibu Sari tadi, keterkejutan Ranum semakin besar dan firasat buruk yang sejak tadi berputar di kepalanya kini menjadi kenyataan, “I-Ibu juga kenal sama direkturnya yang namanya Raga itu?” ia memberanikan diri bertanya.

 

“Haha Mbak Ranum ini gimana sih? Ya tentu aja Ibu kenal. Ibu dan Sari kenal sama seluruh anggota keluarganya. Kenal baik, malah,” jawab ibu Sari riang.

 

“Dan saya juga mengundang Mas Raga ke acara pernikahan saya besok lho, Mbak Ranum,” Sari menambahkan.

 

Seketika nafas Ranum tercekat. Ia belum siap untuk bertemu dengan laki-laki bernama Raga itu satu minggu lagi, dua minggu lagi, sebulan, atau selamanya.

 

*****

 

Ballroom Hotel Pavilion yang megah dengan chandelier-chandelier yang menggantung di langit-langitnya menjadi saksi penyatuan cinta dari pasangan Sari dan Radit. Semua orang di wedding organizer ‘Aranthea’ bekerja keras malam itu. Bimo mengawasi bagian band, sound system, dan lightning; Arina sibuk mondar-mandir di bagian catering; Sakti mengawasi jalannya acara; sementara Ranum dan Rhea berada di ruangan ganti untuk menyiapkan jas dan gaun pengantin yang dipakai oleh kedua mempelai. Pada resepsi pernikahan yang mewah itu, Sari dan suaminya memutuskan untuk berganti pakaian sebanyak dua kali, sehingga mau tidak mau Ranum dan Rhea harus stand by di belakang untuk menyiapkan segalanya.

 

Kini sudah waktunya Sari mengganti gaun pengantinnya dengan gaun yang lebih sederhana. Bagi Ranum dan Rhea, itu adalah perang yang kembali berkecambuk.

 

“Ya, tolong dong ini rambutnya Mbak Sari diangkat sedikit,” Ranum berkata.

 

“Oh oke oke,” dengan sigap, Rhea pun melakukan apa yang diminta Ranum. Sembari memegangi rambut kliennya, Rhea beralih pada penata make up yang ada di belakangnya, “Mbak Ani, make up-nya tolong dibenerin ya. Agak luntur nih.”

 

“Iya. Aku nungguin kalian berdua selesai nih, baru aku bisa kerja,” kata penata make up bernama Ani itu. Dan benar, segera setelah Ranum dan Rhea selesai memakaikan gaun buatannya pada Sari, ia langsung memperbaiki make up Sari yang sedikit luntur dengan kecepatan yang luar biasa.

 

“Wow. Mbak Ani keren deh. Kapan-kapan ajarin dong,” kata Ranum memuji hasil karya Ani di wajah Sari yang tanpa cela.

 

Ani tertawa kecil, “Tentu boleh, sayang. Kamu tinggal datang ke salon dan dapet pelajaran gratis dari ahlinya,” ia berkata dengan gaya yang centil.

 

Ranum tertawa-tawa, “Sip deh, Mbak. Kapan-kapan aku pasti mampir.”

 

“Nah, semuanya sudah siap. Ayo, Mbak Sari,” Rhea berkata. Ia dan Ranum lalu menggiring Sari keluar dari ruang ganti untuk kembali ke panggung dan bertemu para tamu.

 

Saat mereka telah keluar dari ruangan itu, terlihat suami Sari yang berjalan mendekat dengan perlahan. Binar di matanya sama dengan Sari. Senyum yang begitu lebar terkembang di wajahnya dan matanya memperhatikan sosok istri barunya itu dari ujung kepala hingga kaki, terkagum-kagum akan kecantikannya.

 

“Gimana penampilanku, Dit?” tanya Sari malu-malu.

 

Radit tidak dapat berkata apa-apa. Ia menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan sebelum dapat menjawab, “Aku-Aku nggak tahu mau bilang apa lagi, Ri. Kamu cantik banget malam ini.”

 

Mendengar hal itu, Sari menunjukkan senyuman termanisnya.

 

Pasangan pengantin baru itu berjalan kembali ke panggung dengan langkah perlahan. Dari kejauhan, Ranum dapat melihat Radit beberapa kali tersenyum penuh cinta pada Sari, begitu pula sebaliknya. Keduanya benar-benar pasangan pengantin yang berbahagia. Bunga-bunga bagai bermekaran di sekitar mereka. Hati Ranum menghangat karena melihat hal itu.

 

Lamunan Ranum buyar saat Rhea menepuk bahunya, “Pingin, Num?”

 

Ranum tertawa, “Apaan sih, Ya.”

 

Selama beberapa detik setelahnya, tidak ada yang berkata di antara mereka. Keduanya menatap mempelai baru itu dengan sorot mata yang lembut.

 

“Ya, gimana rasanya nikah?” tanya Ranum tiba-tiba pada Rhea.

 

Di antara gengwedding organizer ‘Aranthea’ itu, hanya Rhea yang pernah menikah. ‘Pernah’ karena ia memang menikah segera setelah lulus kuliah, tapi bercerai sekitar delapan bulan setelahnya. Rhea berkata jika perceraiannya disebabkan karena mantan suaminya tidak lagi merasa cocok hidup dengannya, begitu pula dengan Rhea sendiri. Sehingga keduanya kemudian memutuskan untuk bercerai dan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri. Karena kisah pernikahannya itu, Rhea seringkali dianggap sebagai veteran dalam hal cinta, padahal sebenarnya ia sendiri meragukannya.

 

Untuk menjawab pertanyaan Ranum, Rhea berpikir sejenak, “Nikah itu enak kok, Num. Cuma tergantung gimana cara kita buat mempertahankan keutuhan pernikahan itu. Mungkin dulu aku sama Garda masih sama-sama egois, nggak mau mengalah sama ego masing-masing, sehingga nggak pernah akur dan akhirnya cerai deh,” wanita berambut bergelombang pendek itu menjawab. Mengagumkan bagi Ranum karena Rhea menjawab dengan begitu santai.

 

“Lu pernah ketemu sama Garda lagi nggak semenjak itu?” tanya Ranum lagi.

 

Rhea menggeleng, “Enggak. Mau ketemu lagi juga cuma bikin sakit, Num,” Rhea menunjukkan sebuah senyum penuh ketegaran di wajahnya.

 

Melihat raut wajah Rhea yang seperti itu, Ranum merasa sedikit bersalah padanya. Ia menepuk-nepuk punggung Rhea dengan lembut, “Ka-Kayaknya gua salah deh tanya gitu.”

 

Rhea tertawa-tawa, “Apaan sih? Nggak salah kok, Num. Aku memang udah lama ngelupain Garda, tapi bagaimanapun juga Garda itu mantan suamiku kan? Makanya kadang ngerasa sedih juga sih kalau ingat perceraian kami,” ia mengangkat bahu, “Tapi namanya juga hidup. Kadang sedih kadang senang. Aku senang kok pernah jatuh cinta sama Garda.”

 

Ranum menggeleng-geleng, “Beneran deh, kadang gua ragu kalau lu tu seumuran sama gua, Ya. Lu emang lebih cocok kalau sekarang udah nikah dan punya anak banyak,” celetuknya asal.

 

“Sialan kamu, Num!” Rhea memukul lengan Ranum ringan sementara Ranum hanya terkikik. Rhea lalu berjalan ke tengah ballroom diikuti Ranum di belakangnya.

 

Kini sebagian tugas keduanya telah selesai dan mereka sudah bisa beristirahat sejenak sebelum harus membereskan gaun-gaun dan juga hiasan-hiasannya saat acara berakhir nanti. Di waktu istirahatnya itu, Ranum dan Rhea berkeliling dan mencicipi berbagai makanan yang ada di sana dan biasanya setelahnya mereka akan memberitahu Arina jika ada sesuatu yang salah. Meski sebenarnya tidak ada hidangan yang mengecewakan pun, mereka pasti akan berpura-pura mengadu pada kawannya yang satu itu sekedar untuk menggodanya.

 

“Hmm es krimnya lumayan nih,” gumam Rhea saat menyantap es krimnya.

 

“Masa sih, Ya? Menurut gua kurang susu deh. Rasa-rasanya kurang lembut gitu di mulut,” Ranum menimpali.

 

“Nggak ah, udah lumayan kok,” Rhea tetap tidak mau kalah.

 

Tahu jika sudah begitu takkan ada gunanya lagi berdebat dengan Rhea, Ranum hanya mengangkat bahunya sembari tetap melahap es krim itu. Matanya berkeliling melihat ke arah orang-orang yang hadir dalam resepsi. Namun kemudian, ia hampir tersedak saat melihat sesosok laki-laki yang familiar untuknya terlihat sedang bercakap dengan seorang tamu beberapa meter jauhnya di depannya; seorang laki-laki berpostur tinggi, tampan, memakai setelan jas yang tampak mahal, dan direktur Hotel Pavilion, Raga.

 

Ranum lupa! Ia benar-benar lupa! Setelah semenjak pagi berkutat dengan gaun pengantin Sari, Ranum lupa jika laki-laki bernama Raga itu juga diundang ke pesta ini.

 

Ranum berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari Raga. Akan tetapi entah mengapa ia selalu menatap laki-laki itu. Bagaimana tidak? Meski wajah dan tatanan rambutnya masih sama seperti yang terakhir kali diingat oleh Ranum, tapi kemeja berwarna gelap, setelan jas berwarna hitam yang kemudian dipadu dengan dasi berwarna biru tua hampir membuat Ranum tak tahan untuk tak berjalan ke arahnya. Tanpa disadari Ranum, nafasnya tertahan.

 

Wanita itu masih menatap Raga dari kejauhan saat Raga tiba-tiba menoleh padanya. Untuk sesaat, Raga tampak kaget, tapi kemudian sebuah senyum terlihat di wajahnya dan kini ia mulai berjalan mendekat ke arah Ranum.

 

“Duh! Gawat, Ya! Kita ke sana aja yuk. Cake yang di sana kelihatan enak-enak,” Ranum langsung panik dan berusaha untuk lari dari sana.

 

Rhea mengernyitkan dahi melihat gelagat Ranum, “Kamu kenapa sih, Num? Kok tiba-tiba?”

 

“Udahlah, pokoknya kita pergi dulu‒”

 

“Mau ke mana, Mbak Ranum?” suara laki-laki terdengar dari belakang Ranum.

 

Ranum tahu suara itu. Ia tidak berani menoleh. Badannya tiba-tiba terasa kaku.

 

Melihat laki-laki setampan Raga berada di sana, Rhea kaget, “A-Anda mencari Ranum?” tanya Rhea. Ia tidak bisa berhenti menatap wajah Raga.

 

Raga tersenyum lebar, “Iya. Teman Anda yang di sebelah itu namanya Ranum kan?”

 

Rhea mengangguk. Sikunya lalu menyenggol lengan Ranum lalu berbisik, “Num, Num, kamu kenal sama orang ini?”

 

Sadar jika ia takkan bisa pergi ke mana-mana lagi, Ranum menghela nafas panjang seraya mengumpat di dalam hati. Ia akhirnya memberanikan diri untuk berbalik dan menghadapi Raga, “Iya, Ya. Gua kenal. Dia ini direktur Pavilion, Pak Raga. Lalu Pak Raga, ini partner kerja saya, Rhea,” ucapnya.

 

“Direktur Pavilion!” Rhea terpekik, “Berarti dia itu yang‒” bisik Rhea pelan.

 

Tanpa suara, Ranum menjawab dengan satu anggukan yang lemah.

 

“Halo. Saya Raga Pradibta Abdi, direktur Pavilion,” ia mengulurkan tangan pada Rhea.

 

“Halo juga. Saya Rhea,” Rhea pun membalas jabatan tangan Raga tersebut.

 

“Jadi, Anda bekerja di wedding organizer yang sama dengan Mbak Ranum?” tanya Raga membuka pembicaraan.

 

“Iya. Saya bagian gaun pengantin, sama dengan Ranum.”

 

Raga manggut-manggut, “Lalu apa gaun yang dipakai Sari sekarang juga buatan Anda?”

 

Sebagai jawaban, Rhea mengangkat bahu, “Saya dan juga Ranum.”

 

Rhea baru saja akan membuka suara lagi saat tiba-tiba saja suara ibu Sari terdengar memanggilnya dan Ranum dari kejauhan, “Mbak Rhea! Mbak Ranum!” dan saat ia menoleh, terlihat kliennya itu sedang berjalan cepat ke arahnya, “Saya butuh salah satu dari kalian di belakang. Ayo ikut sebentar.”

 

Kesempatan bagus! Ranum langsung berkata, “Biar saya, Bu‒”

 

“Nggak! Biar saya saja yang ikut ke belakang, Bu,” Rhea tiba-tiba memotong, “Kamu di sini aja, Num. Nemenin Pak Raga ngobrol-ngobrol.”

 

Mati! Wajah Ranum langsung memucat.

 

“Ta-Tapi‒”

 

“Udahlah. Kan Pak Raga ke sini juga gara-gara mau ngobrol sama kamu,” Rhea berkata sok pengertian. Meski Ranum tahu benar jika kini temannya yang satu itu bermaksud mengerjainya, “Nah saya duluan ya, Pak Raga,” ujarnya sembari menyembunyikan cekikikannya. Ia lalu berjalan mengikuti ibu Sari yang telah beberapa meter mendahuluinya.

 

Ranum tidak bergerak. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Bertemu lagi dengan Raga sudah cukup untuk membuatnya panik setengah mati dan kini Rhea meninggalkannya sendirian saja dengan laki-laki itu. Ia merasa terpojok. Kejadian saat beberapa minggu yang lalu ia memanggil laki-laki di belakangnya ini cleaning service kembali terngiang-ngiang di otaknya. Ingin rasanya ia berlari dan melompat ke kolam yang berada tepat di luar ballroom.

 

“Kita ketemu lagi, Mbak Ranum,” Raga tiba-tiba berkata.

 

Mau tidak mau Ranum akhirnya berbalik, “Iy-Iya,” ia menjawab terbata dengan kepala tertunduk, begitu malu untuk melihat lurus pada Raga.

 

Raga menenggak minuman di tangannya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ballroom, “Resepsi yang indah. Kedua pengantin juga terlihat begitu bahagia dengan hasil kerja keras Anda dan teman-teman. Saya salut.”

 

“Terima kasih,” balas Ranum pelan.

 

Raga tertawa kecil, “Kenapa menunduk terus, Mbak Ranum? Saya jadi merasa canggung karena Mbak Ranum terus menatap ke bagian bawah tubuh saya.”

 

“A-Apa! Saya tidak‒” Ranum sontak berseru. Ia akhirnya mendongakkan kepalanya.

 

Tawa Raga semakin menjadi, “Saya tidak menyangka kalau Anda orang yang mudah digoda seperti ini.”

 

“Apa ini sebagai balas dendam karena saya sudah memanggil Andacleaning service beberapa waktu yang lalu?”

 

Raga mengangguk-angguk, “Bisa jadi. Bagaimanapun juga saya merasa agak tersinggung karena dikira cleaning service saat itu. Selama beberapa minggu ini saya merasa penasaran akan bagaimana jadinya jika kita bertemu lagi.”

 

“Jadi, Anda senang karena sekarang bisa bertemu dengan saya?”

 

Laki-laki itu sedikit mencondongkan wajahnya pada Ranum dan itu membuat Ranum mundur sedikit ke belakang, “Tentu. Wajah kalang kabut Anda saat saya berjalan kemari tadi tidak ada duanya, Mbak Ranum,” ujarnya dengan sebuah senyum usil di wajah.

 

Ranum hampir saja menonjoknya jika saja kini mereka tidak berada di sebuah resepsi pernikahan. Kelakuan laki-laki itu begitu berbeda dengan penampilannya. Tanpa sadar ia menatap Raga dengan wajah yang tampak kesal.

 

“Melihat raut wajah Anda saat ini, saya yakin Anda ingin sekali menceburkan saya ke kolam di samping ballroom ini sekarang.”

 

Ranum membusungkan dadanya, “Kalau memang benar begitu, kenapa?

 

“Saya bersedia kok melakukannya.”

 

“Eh?”

 

“Kalau Anda juga mau masuk ke dalam kolam bersama saya.”

 

Mendengarnya, Ranum mendengus, “Saya tidak menyangka kalau direktur Pavilion sevulgar ini,” katanya sembari menggeleng-gelengkan kepala dan melipat kedua tangan.

 

Raga mengangkat bahu, “Saya hanya mengutarakan apa yang ada di dalam kepala saya.”

 

“Apa Anda juga mengatakan hal yang sama pada wanita-wanita lain?”

 

“Wow, baru beberapa saat kita mengobrol dan sekarang Anda sudah mulai merasa cemburu akan hubungan saya dengan wanita lain?”

 

“Apa! Tentu tidak! Anda gila!” sahut Ranum cepat.

 

Mendengar kata-kata Ranum itu, Raga hanya terkikik geli.

 

Kini kekesalan Ranum sudah mencapai batasnya. Baru saja ia akan membalas perkataan Raga saat dari belakang laki-laki itu tampak seorang wanita berjalan mendekat ke arahnya.

 

“Raga!” panggil wanita itu dan Raga pun menoleh.

 

Wanita itu bertubuh tinggi semampai dan langsing. Rambut hitampendeknya berpadu apik dengan kulitnya yang kuning langsat. Melihatnya yang langsung menggandeng mesra lengan Raga, Ranum tahu siapa itu.

 

“Halo, Nis,” sapa Raga dan wanita itu pun mendaratkan satu kecupan kecil di pipinya.

 

“Siapa ini?” tanya wanita itu saat melihat Ranum.

 

“Ini kenalanku, Mbak Ranum. Ia yang mengatur resepsi pernikahan ini. Lalu Mbak Ranum, ini Denis, kekasih saya,” kata Raga memperkenalkan.

 

Mata Ranum terbelalak lebar. Kekasih? Jika ia sudah punya kekasih, bagaimana bisa ia flirting dengan Ranum seperti tadi? Laki-laki ini benar-benar membuat Ranum heran.


;Illustrasi-Ch-02-A;;


Ranum mengulurkan tangannya seraya memaksakan senyum, “Saya Ranum.”

 

Denis pun mengumbar senyum, “Halo. Senang bertemu Anda. Saya Denis,” Denis menoleh lagi pada Raga, “Kayaknya kalian ngobrol asyik tadi.”

 

Raga tertawa, “Nggak lebih asyik daripada obrolan kita berdua, Sayang,” katanya menggoda, membuat Ranum hampir muntah.

 

“Kita ke kolam yuk,” ajak Denis manja.

 

Raga pun mengangguk, “Kalau begitu, kami permisi dulu, Mbak Ranum,” ujarnya berlagak sopan kemudian berjalan berdampingan dengan Denis menuju kolam di luar ballroom.

 

Saat Ranum yakin jika kini keduanya sudah cukup jauh, ia bergumam pelan, “Kampret. Ternyata ada juga ya orang kayak begitu,” bulu romanya berdiri.

 

*****

 

Pagi itu, sebuah mobil sedan berwarna hitam perlahan berjalan masuk ke dalam garasi sebuah rumah yang megah. Seorang asisten rumah tangga menutup kembali gerbang utama rumah. Sesaat kemudian pintu mobil terbuka dan terlihat Raga yang keluar dari sana. Berbeda dari hari-hari biasanya, kali itu ia memakai kaus polo berwarna abu-abu, celana khaki dan sepatu hitam yang mengilap. Pakaiannya membuatnya terlihat lebih santai.

 

“Bapak sama ibu udah nunggu di dalam, Mas Raga,” kata asisten rumah tangga itu saat membukakan pintu rumah untuk Raga.

 

“Makasih, Bi,” Raga berkata. Ia lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan menuju ke ruang makan.

 

Di ruang makan yang luas itu, terlihat kedua orang tua Raga telah berada di sana. Raga mengumbar senyumannya, memperlihatkan deretan giginya yang rapi, “Lama nunggu ya?” tanyanya basa-basi.

 

Ibunya yang sedang menaruh secangkir kopi di meja langsung menyahut, “Iya. Lama banget. Ibu kan udah bilang kita mulai sarapan jam setengah tujuh. Kamu ke mana aja sih?”

 

Raga cengar-cengir, “Yah, ibu kan tahu jalan macetnya kayak apa.”

 

Kali ini bapaknya ikut nimbrung, ia menaruh koran pagi yang tadi dibacanya, “Haah gara-gara nunggu kamu nih, bapak makin ngiler lihat rawonnya ibu tersaji di depan kayak begini,” katanya menunjuk semangkuk besar rawon daging di atas meja.

 

“Iya deh. Maaf, Pak,” jawab Raga asal. Tangannya mencomot satu kerupuk dari dalam toples yang ada di sana. Ia lalu duduk di kursi dan mendekatkan hidungnya ke rawon itu, “Beneran deh, rawon ibu memang nggak nahan,” pujinya.

 

Mendengar itu, ibunya menepuk bahu Raga sembari tersenyum simpul, “Pinter banget kamu muji ibu. Nggak cuma karena ada maunya kan?”

 

“Memangnya aku anak kecil?” sambarnya dan ibunya tertawa, “Galih mana?”

 

“Masih di kamar mandi,” jawab bapaknya.

 

Tak berapa lama setelah Raga mengatakan hal itu, seorang laki-laki terlihat berjalan turun dari tangga yang ada di ujung ruangan, “Yo, Mas!” sapanya pada Raga seraya mengangkat tangan, “Telat nih, bapak dari tadi udah nggak sabar buat makan rawonnya ibu.”

 

“Iya iya. Aku udah denger omelan yang sama tadi,” Raga menjawab.

 

Adik Raga yang bernama Galih itu kemudian duduk di kursi di samping Raga. Melihat anggota keluarganya kini telah lengkap, bapak Raga pun memulai sarapan mereka pagi itu. Ini merupakan sebuah tradisi yang terus dijaga oleh keluarga Raga. Semenjak kecil, bapak dan ibu Raga telah mendidiknya dan adiknya untuk selalu menyempatkan diri melakukan sarapan bersama keluarga dan kini kebiasaan itu masih terus berlangsung hingga saat Raga dan Galih tak lagi tinggal serumah dengan mereka. Hari Kamis terakhir di setiap bulannya merupakan jadwal bagi keduanya untuk datang ke rumah kedua orang tuanya dan sarapan pagi bersama.

 

Meski hanya sebuah kebiasaan sederhana, tapi hal itu membuat keempatnya terus merasa dekat.

 

“Gimana kerjaan di hotel, Ga?” tanya ibunya.

 

Raga terlebih dahulu mengambil sesuap nasi, “Lancar kok, Bu. Nggak ada yang gawat.”

 

Bapaknya bertanya, “Gimana dengan rencana pembukaan hotel baru di Madiun itu?”

 

“Kemarin aku udah ngobrol dengan Pak Hendri lewat telepon, Pak. Katanya besok ia baru bisa ketemu dengan beberapa orang dari pemerintah kota untuk ngomongin masalah izinnya.”

 

Mendengar jawaban itu, bapak Raga manggut-manggut. Ia lalu beralih pada Galih, “Lalu kamu, Lih? Katanya ada investor yang menawari kita untuk buka cabang hotel baru di Bangka Belitung?”

 

“Iya, Pak. Lusa aku mau ketemu perwakilan investornya. Waktu terakhir kali aku ngobrol sama mereka, kayaknya mereka antusias banget untuk kerjasama dengan kita,” Galih menjawab.

 

“Bagus, bagus.”

 

“Oh ya, gimana dengan perkembangan resort di Bali itu, Pak?” Raga tiba-tiba bertanya.

 

“Iya. Aku dengar kalau katanya Pak Rendy yang jadi direkturnya mau mengundurkan diri dua bulan lagi? Ada masalah apa, Pak?” Galih ikut bertanya.

 

Bapaknya menyesap kopinya dulu baru menjawab, “Bapak juga nggak begitu mengerti, tapi waktu kemarin Bapak ngobrol-ngobrol dengan Pak Rendy lewat telepon, katanya ada masalah keluarga yang membuat dia memutuskan untuk hengkang dari manajemen resort itu,” ia lalu menghela nafas sembari mengusap-usap wajahnya, “Kalau begitu, memang nggak ada cara lain selain menyuruh salah satu dari kalian untuk mengurus resort itu.”

 

Galih langsung menyeletuk, “Mas Raga aja nih, Pak. Ngurus chain hotel di Sumatera aja aku udah pusing, malas kalau harus ngurusin resort di Bali segala.”

 

Bapak Raga langsung menatap Raga lekat, “Gimana, Ga? Kamu mau?”

 

Raga tidak langsung menjawab, ia mengangkat bahu, “Aku sih mau-mau aja.”

 

“Kok menjawabnya begitu sih, Ga? Beneran siap apa nggak nih kamu? Resort besar lho ini,” ibunya ikut bersuara.

 

“Iya, siap!” jawab Raga semangat sambil memberi hormat pada ibunya, sebuah senyum lebar terkembang di wajahnya.

 

“Bagus. Kalau begitu, besok biar bapak kontak Pak Restu untuk mengurus masalah dokumen-dokumennya.”

 

Meskipun tadi Raga terlihat ogah-ogahan, tapi sebenarnya itulah yang ia inginkan. Beberapa hari yang lalu ia tahu dari asisten pribadinya jika direktur resort yang bernama Pak Randy itu akan segera hengkang dari pekerjaannya. Tahu akan hal itu, Raga memang telah berencana untuk mengangkat topik itu dalam sarapan keluarga mereka pagi ini dan melakukan apapun agar bapaknya dapat menyerahkan resort itu padanya. Dengan tiga tower hotel berlantai 18, lapangan golf, puluhan personal villa, restoran, dan sarana rekreasi mewah lainnya menjadikan resort bernama The Prime Pavilion Bali itu salah satu proyek terbesar yang pernah dibuat oleh chain hotelnya. Mengurus resort itu memang tidak akan mudah, akan tetapi sepadan dengan kekuasaan dan nama besar yang akan didapat jika memilikinya.

 

Dan kini, saat resort itu telah diserahkan padanya, Raga merasa jika Pavilion telah berada di dalam genggaman tangannya.

 

Lamunan Raga buyar saat suara bapaknya terdengar lagi, “Terus kamu udah menemukan calon istri belum, Raga?” tanyanya.

 

Raga langsung menoleh pada bapaknya dengan wajah yang tampak terkejut, “Kok tanyanya begitu sih, Pak? Kan aku udah punya Denis.”

 

Mendengar kata-kata Raga tadi, tiba-tiba bapaknya membanting sendoknya ke atas meja, “Bukannya sudah bapak bilang agar kamu putus sama Denis! Kamu masih belum putus sama dia sampai sekarang?” bentaknya, membuat Raga tersentak kaget.

 

Akhirnya mereka sampai lagi di topik ini. Topik yang setiap kali dibicarakan membuat Raga naik darah dan muak, “Memangnya apa salahnya dengan Denis sih, Pak? Dia pintar, nggak aneh-aneh, keluarganya terpandang juga‒”

 

“Dia itu nggak seiman dengan kita, Raga!” seru bapaknya lagi dan Raga kaget.


;Illustrasi-Ch-02-B;;


Kali ini saking kerasnya, ibu Raga mendekati suaminya lalu mengelus-elus punggungnya, “Sabar, Pak,” ujarnya dengan lembut, “Kita memang hidup di dunia modern, Ga, tapi kamu tahu kan kalau buat bapak sama ibu agama itu tetap masalah penting.”

 

Raga menghela nafas, tapi ia tetap tidak mau menimpali perkataan ibunya.

 

Ibunya melanjutkan lagi, “Kan masih ada wanita lain yang baik dan seiman dengan kita, Ga? Apa nggak bisa kamu tinggalin Denis dan cari yang lain?”

 

Raga mengusap-usap wajahnya, kebiasaan yang sama dengan bapaknya saat ia merasa stress, “Teorinya memang gampang, Bu. Tapi aku cinta sama Denis, dia juga cinta sama aku. Kami merasa kalau kami benar-benar cocok dalam hal apapun. Dia juga bisa menerima aku apa adanya. Aku nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”

 

Bapaknya mendengus mengejek, “Romantis banget kamu. Memangnya kamu udah berapa lama sih pacaran sama Denis? Setahun? Dua tahun? Kamu bilang begitu karena kamu nggak tahu wanita lain. Di luar sana masih banyak wanita yang lebih baik daripada Denis, Ga.”

 

Kemarahan Raga kini mulai memuncak, “Bapak nggak bisa bilang kayak begitu. Bapak bahkan nggak begitu kenal Denis.”

 

“Iya, Bapak memang nggak kenal Denis, tapi Bapak tetap nggak setuju kalau kamu sama dia,” bapak Raga berkata dengan begitu tegas.

 

Untuk sesaat, hening berada di antara keluarga kecil itu. Tidak ada satupun yang berani berkata-kata. Suasana yang tadinya hangat kini berubah intens. Tidak ada suara kecuali suara bapak Raga yang menenggak kopinya hingga habis.

 

Bapak Raga kemudian menaruh cangkirnya di atas meja dengan kasar dan melanjutkan kata-katanya lagi, “Begini saja, kalau kamu nggak putus dari Denis dan nggak membawa calon istri kamu di pesta ulang tahun Bapak sebulan lagi, maka Bapak batal kasih resort itu ke kamu.”

 

“A-Apa! Kok bisa‒”

 

Sebelum Raga dapat menginterupsi, bapaknya telah bangkit berdiri, “Itu keputusan terakhir bapak dan nggak bisa diganggu gugat. Umur kamu udah hampir kepala tiga, belum nikah, dan masih tetap bersikeras untuk menikah dengan wanita yang nggak disetujui oleh bapak dan ibu kamu? Kalau kamu tetap kayak gitu, berarti kamu nggak lebih dewasa dari anak umur lima tahun, Ga,” katanya mengancam. Ia mengarahkan telunjuknya ke wajah Raga.

 

“Tu-Tunggu dulu! Bapak!” Raga kalang kabut.

 

“Bapak nggak mau dengar lagi,” tangkas bapaknya, “Bu, Bapak ke atas dulu. Nanti suruh Mbok Inem buat bawain kopi dan camilan buat Bapak,” katanya pada istrinya dan ia hanya mengangguk sebagai jawaban.

 

“Bapak! Bapak!” Raga memanggil lagi, tapi tetap tidak digubris.

 

Pavilion yang tadinya telah berada di tangan, kini sedikit demi sedikit terbang menjauh.

 

 

; Holiday Girlfriend Chapter 3 ;


You must Register or Login to post a comment