KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Holiday Girlfriend | Chapter 1

20 Juni 2021

Holiday Girlfriend | Chapter 1

Klik! Halaman dibuka.

“Kapan nikah?”

“Loh kok sendirian?”

Anda muak dengan semua pertanyaan itu? Apa gara-gara itulah Anda jadi malas untuk datang ke pertemuan keluarga setiap liburan tiba?

Jangan khawatir, karena kini saya, HolidayGF akan mengatasi semua persoalan itu untuk Anda. Tinggal sebutkan saja nama apa yangAnda sukai, tipe calon menantu seperti apa yang orang tua Anda idamkan, Anda akan mendapatkannya! Hubungi saya dan Anda akan menghadiri pertemuan keluarga kali ini dengan dada membusung! Love, HolidayGF.

 

*****

 

“Gimana rendangnya, Nak Gina?” tanya wanita paruh baya di seberang meja. Ia memakai baju berwarna biru yang penuh ditutupi oleh permata plastik buatan.

Wanita yang ditanya itu terlebih dahulu menelan nasinya lalu menjawab, “Enak, Tante. Sedap,” matanya sedikit menyipit saat melihat ke arah wanita paruh baya itu. Bukan berarti ia takut atau bagaimana, tapi karena ia tidak tahan terkena pancaran silau dari permata-permata yang ada di pakaiannya.

“Syukur kalau gitu,” wanita itu tertawa sambil tertawa kecil.

Laki-laki yang duduk di samping wanita bernama Gina membuka mulut sekarang, “Gimana Gina menurut mamah papah?” tanyanya.

“Loh masih pakai ditanya, Fi? Kalau udah diundang ke makan malam keluarga kayak gini ya papah mamah setuju lah. Iya nggak, Mah?”

“Iya. Gina orangnya santun, sederhana, cerdas, cantik pula. Mana mungkin papah sama mamah bilang nggak ke Gina, Rafi?” timpal sang nyonya rumah.

Wanita dengan nama Gina menyunggingkan sebuah senyum yang tampak tersipu, “Ah, Oom sama Tante ini kalau muji ketinggian ah,” ia merendah.

Dan untuk yang kesekian kalinya malam itu, tawa terdengar lagi.

Rendang yang enak, rumah yang nyaman, dan keluarga yang menyambut dengan tangan terbuka. Semuanya tampak sempurna. Wanita yang umurnya terlihat paling muda di jajaran meja makan panjang itu tampak tersenyum lebar semenjak makan malam ini dimulai. Semua rencana berjalan mulus, sangat mulus seperti biasa. Bayarannya akan tinggi malam ini.

“Makasih ya, Na. Makasih banget. Lu bener-bener penyelamat gua,” kata Rafi saat makan malam telah selesai dan kini ia dan Gina telah berada di mobilnya, berjalan menuju ke sudut lain kota.

“Eh keterusan ya manggilnya? Ranum, Fi. Gina kan nama yang lu pesen buat penyamaran gua. Nah mana bayarannya?” pintanya. Ia berada di kursi belakang mobil, membuka wig pendek yang dipakainya saat di rumah Rafi tadi lalu menggerai rambut aslinya yang panjang bergelombang berwarna kecoklatan. Belum selesai, ia kemudian memoleskan lipstik di bibirnya yang tipis.

“Nih,” Rafi menyodorkan segepok uang dengan satu tangan di kemudi.

“Thanks,” kata Ranum. Senyumnya kini lebih lebar daripada kebanyakan jalan protokol kota, “Eh berhenti di sini aja, Fi,” ia berkata tiba-tiba saat mobil laki-laki berkacamata itu kini sudah sampai di depan rumah besar bercat abu-abu.

Rafi menghentikan mobilnya, “Buru-buru amat, Num? Nggak mau agak lamaan sama gua?” ia kali ini tersenyum sedikit nakal.

“Ih ganjen! Daripada sama lu mending gua menuhin job. Dapet duit, cuci mata pulak. Dah ya,” sambar Ranum dan dengan satu gerakan yang cepat, ia membuka pintu lalu melompat ke luar.

Ranum berjalan dengan tergesa menuju ke pintu gerbang rumah tadi. Begitu sampai di depannya, ia memencet bel. Sembari menunggu si empunya rumah membukakan pintu, ia merapikan rambut bergelombang dan juga gaun off-shoulder berwarna hitam selutut yang tampak begitu indah di badannya yang langsing.

Tak berapa lama, akhirnya gerbang terbuka. Terlihat seorang laki-laki tampan dengan setelan jas berwarna hitam yang tampak mahal, rambut yang ditata rapi dengan gel, ditambah dengan parfum beraroma musk. Perlente, kaya, dan tipikal eksekutif muda single yang dikejar nikah sama ortu. Jika seseorean tadi Ranum harus menyesuaikan diri dengan keluarga Rafi yang sederhana, kini ia harus me-restart kembali otaknya, menyesuaikan diri, dan berubah menjadi seorang wanita kelas atas yang tampak serasi mendampingi seorang eksmud seperti laki-laki ini. Tapi jangan khawatir, karena jika boleh diturus, Ranum sudah puluhan kali mempunyai klien eksmud. Wanita kelas atas? Itu kepribadian Ranum yang lain.

“Ranum ya?” laki-laki itu berkata dan Ranum pun mengangguk. Ia kemudian mengulurkan tangan, “Ardi. Salam kenal.”

Ranum menyambut uluran tangan itu, “Ranum. Oh, tapi mungkin Anda bisa memanggil saya dengan nama lain jika Anda mau?” Ranum merubah cara bicaranya.

Ardi tertawa, “Nggak usah. Ranum nama yang indah. Sayang kalau diganti-ganti,” ucapnya kemudian menggandeng Ranum untuk masuk ke dalam mobilnya.

Perlente, kaya, tipikal eksekutif muda single yang dikejar nikah sama ortu, dan mungkin satu lagi, sweet-talker. Kombinasi yang unik, Ranum tertawa geli.

Ranum masuk ke dalam mobil Ardi saat ia melihat seorang asisten rumah tangga keluar dari rumah. Ia kemudian membukakan pintu gerbang lebih lebar dan mobil Ardi pun melaju. Sepanjang perjalanan, Ranum memanfaatkan waktu untuk mengobrol dengan Ardi agar nanti aktingnya terlihat lebih alami. Ardi berkata jika kini mereka akan menghadiri resepsi pernikahan salah satu koleganya dan sudah berkali-kali ia datang sendirian ke pesta sementara orang-orang bertanya kenapa laki-laki muda dan kaya seperti dia masih saja sendiri. Tak ingin orang-orang itu bergosip macam-macam tentangnya, dalam pesta kali ini ia akhirnya memutuskan untuk menyewa jasa Ranum dan memintanya untuk datang dengannya sebagai pacarnya. Dan tentu saja, Ranum menerima tawaran itu dengan senang hati.

“Selamat ya, Pak David,” Ardi berkata seraya menjabat pengantin pria.

“Terima kasih sudah datang, Pak Ardi. Wah, siapa ini?” Laki-laki bernama David itu bertanya saat mendapatkan sosok Ranum di samping Ardi.

Ardi langsung melingkarkan lengannya di pinggang Ranum, berusaha agar mereka tampak mesra, “Ini kekasih saya. Perkenalkan, Ranum.”

“Ranum, Pak. Selamat atas pernikahannya,” Ranum berkata.

David mengangguk-angguk, “Ya, terima kasih. Akhirnya Anda datang dengan menggandeng seseorang, Pak Ardi,” kata David kemudian tertawa lepas.

Klien Ranum hanya tersenyum sebagai jawaban. Mereka lalu berjalan turun dari panggung menuju ke meja-meja panjang yang menyediakan makanan. Selama keduanya berjalan melintasi hall yang ukurannya kelewat besar itu, mata sebagian besar laki-laki yang ada di sana tertuju pada Ranum. Parasnya begitu cantik dengan bibir tipis, mata besar nan bulat, hidung mancung, dan tulang pipi yang tinggi. Badannya tinggi dan langsing ditopang dengan dua kaki jenjang yang indah. Siapa yang tak tahan melihat kemolekan seperti itu? Hampir semua laki-laki takkan tahan.

Ranum memang tidak sadar jika kini puluhan mata menatap ke arahnya, tapi ternyata Ardi menyadarinya, “Tampaknya keputusan saya tepat membawa kamu kemari malam ini. Saya membuat kebanyakan laki-laki di sini berdecak iri,” bisiknya begitu dekat dengan telinga Ranum.

Mendukung akting mereka, Ranum seketika berbalik dan mengelus wajah Ardi perlahan, “Itulah keahlian saya,” katanya dengan begitu percaya diri.

Kini Ranum dapat mendengar decakan iri yang dimaksud Ardi.

Tak sampai resepsi selesai, keduanya memutuskan untuk pulang. Lagi-lagi Ranum berada di kursi belakang mobil, menghapus sebagian besar make-up pestanya dan menggantinya dengan make-up yang lebih natural. Ia bergerak begitu cepat memoleskan kosmetik-kosmetik itu sementara mobil bergoyang melewati jalanan. Ardi dibuat kagum melihat kemampuannya itu.

“Jadwal padat hari ini?” Ardi bertanya.

“Haha yah,” Ranum menjawab singkat.

Setelah berkendara tiga puluh menit lamanya, mobil bercat hitam itu akhirnya sampai di depan sebuah cafe kecil yang ramai. Ranum meminta honornya dari Ardi dan laki-laki itu pun memberikannya di dalam sebuah amplop.

“Kamu mengagumkan, Ranum. Apa saya bisa ketemu kamu lagi?

“Ini tentang bisnis atau...”

Tawa Ardi terdengar, “Yang pasti hal lain selain bisnis.”

Ranum memaksakan sebuah senyum, “Maaf tapi tidak, terima kasih. Drive safe,” katanya kemudian dengan cepat meninggalkan mobil itu.

Mobil Ardi berlalu dan Ranum berjalan menuju ke cafe itu. Namun sebelum masuk ke dalamnya, ia berhenti sejenak di depan pintu. Ia mengeluarkan ponselnya untuk kemudian mengirim sebuah pesan ke kliennya kali ini. Dalam beberapa detik saja, klien itu telah membalas. Tahu karakter apa yang harus ia perankan kali ini, Ranum mengherap nafas dalam-dalam, sedikit mengacak rambut bagian belakangnya lalu berjalan dengan gaya yang begitu centil.

Matanya beredar ke seluruh sudut ruangan untuk mencari kliennya. Dan saat telah menemukan laki-laki berambut ikal kecoklatan yang begitu dikenalnya, ia langsung berhambur padanya dan memeluknya dari belakang, tak memerdulikan seorang wanita yang kini duduk berhadapan dengannya.

“Halo, sayang,” ucap Ranum begitu manja. Ia lalu mengecup pipi laki-laki itu.

Wanita diseberangnya kini membelalakkan mata, sedangkan laki-laki yang berada di pelukannya melihatnya dengan pandangan kaget yang tampak dibuat-buat.

“Bim, ini-ini siapa?” tanya wanita itu terbata.

“Oh, in-ini Shanti. Shanti, ini Anisa,” Bimo pun menjawab dengan tergagap.

Belum sempat Anisa berkata lagi, Ranum sudah berseru, “Oh, jadi lu yang namanya Anisa? Yang ngedeketin cowok gua?”

Anisa berdiri, “Seenaknya aja! Cowok lu tu yang ngedeketin gua!”

“Masa? Lu kali yang keganjenan!”

“Eh ati-ati ya kalau ngomong!” Anisa berteriak lagi, kali ini seraya menunjuk-nunjuk ke wajah Ranum. Ia lalu beralih pada Bimo yang masih duduk, “Jadi lu cuma mau bikin gua jadi selingkuhan lu, gitu?”

Bimo hanya diam dan mengalihkan pandangan.

Tiba-tiba segelas air putih tersiram ke wajah Bimo, “Brengsek lu, Bim!” umpat Anisa begitu keras kemudian berjalan ke luar cafe.

Setelah yakin Anisa telah pergi jauh dari sana, Ranum duduk di depan Bimo, “Seger, Bim?” ejeknya seraya menyilangkan kaki dan melipat tangan di depan dada.

Bimo mengusap-usap air yang membasahi wajahnya dengan tisu, “Kejem lu, Num. Nggak ngebantuin malah ngejekin.”

“Gua usapin airnya tambah biaya lho.”

“Monyet lu!” Bimo mengumpat dan Ranum hanya tertawa.

Wanita itu lalu merapikan rambutnya kembali dan memanggil pelayan untuk memesan secangkir kopi. Setelahnya ia menyeletuk lagi, “Singkat amat. Nggak seru.”

“Emang maunya sepanjang apa? Mau dibikin kayak sinetron gitu?”

“Maunya sih gitu,” jawab Ranum singkat, “Lu beneran nggak mau sama Anisa? Kayaknya dia cewek baik-baik. Cocok ma lu.”

“Nyindir nih ceritanya?” sambar Bimo, “Ogah ah. Anisa tu dari keluarga ningrat, kayaknya dari darahnya udah nurun nyuruh-nyuruh sama perintah-perintah orang. Masa baru jalan sekali aja gua udah suruh nganterin nyokapnya kesana kemari? Males bener,” laki-laki itu mengeluh panjang lebar.

“Mungkin bukan salah Anisanya, muka lu aja yang muka supir.”

“Honor lu hangus lho.”

“Enggak! Enggak! Kalau udah nyangkut honor nggak berani macem-macem deh!” sambar Ranum dengan cepat. Ia lalu melanjutkan lagi setelah menyeruput kopi yang baru saja tiba, “Terus mau gimana lu sekarang?”

Bimo mengangguk-angguk, “Ya hunting cewek lain lah, tapi‒” Bimo menggantungkan kata-katanya sementara matanya melirik pada Ranum yang duduk di sebelahnya, “Kalau cewek kayak lu mau sama gua juga nggak pa-pa sih.”

Ranum tertawa. Tangannya mengambil dengan cepat beberapa helai tisu yang ada di atas meja lalu melemparkannya ke muka Bimo, “Ngaco!”

Dan Bimo pun terbahak.


*****

 

Jam sudah menunjukkan jam dua siang dan otot-otot yang ada di leher Ranum sudah mulai lelah. Setelah semenjak pagi berkutat dengan payet yang ada di gaun pengantin yang sedang dibuatnya, kini tangan dan otaknya berteriak minta istirahat. Tidak biasanya Ranum merasa selelah ini. Mungkin ini efek dari pekerjaan maraton yang dilakukannya kemarin malam. Ranum meregangkan tangannya.



;Illustrasi-Ch-01-A


“Capek, Num?” suara seorang wanita terdengar segera setelah pintu ruangan terbuka. Tampak temannya yang bernama Rhea berada di sana dengan dua cangkir di tangan. Ia lalu meletakkan salah satunya di meja Ranum.

“Dikit, Ya. Sori ya, payetnya nggak jadi-jadi nih,” balas Ranum.

“Santai. Gaun yang itu dipakainya masih sebulan lagi kok,” ucap Rhea seraya duduk di samping Ranum. Ia menambahkan, “Jangan memaksakan diri lho, Num. Nanti anemia kamu kumat lagi.”

“Iya iya, Ya,” Ranum menjawab. Temannya yang satu itu memang sering kelewat perhatian seperti ibu-ibu.

Rhea lalu bertanya lagi, “Bisnis sampingan kamu kayaknya lagi ramai nih,” senyum terkembang di bibir Rhea.

“Ya gitu deh, Ya. Bentar lagi lebaran, banyak orang nikah, banyak pertemuan keluarga, banyak pula orang yang butuh jasa gua sebagai pacar bohongan biar bisa datang ke pertemuan-pertemuan kayak gitu tanpa risih ditanyain macem-macem.”

Jika Ranum menghitung lagi, kini sudah resmi dua tahun sejak ia mulai menjalankan bisnis sampingannya. Di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai desainer gaun pengantin di sebuah wedding organizer yang ia kelola bersama dengan teman-temannya, ia adalah penyedia jasa kekasih sewaan. Ia menyebut pekerjaannya itu dengan ‘kekasih sewaan’ karena ia memang menyewakan dirinya untuk menjadi kekasih seseorang untuk jangka waktu tertentu dan untuk keperluan tertentu. Ranum dengan begitu percaya dirinya menyebutkan jika ia lah satu-satunya orang dengan pekerjaan sebagai kekasih sewaan di Indonesia.

Ranum melakukan pekerjaan sebagai kekasih sewaan bukannya atas dasar uang, tapi hanya sekedar untuk bersenang-senang. Semua itu berawal saat ia masih kuliah, salah seorang teman memintanya berpura-pura menjadi kekasihnya untuk menjauhkannya dari mantan pacar yang terus mengejarnya. Saat itu Ranum begitu menikmati perannya dan membuatnya ketagihan. Setelahnya permintaan-permintaan lain datang dan Ranum tidak bisa berhenti.

Ia kemudian memutuskan untuk mengambil keuntungan dari keahliannya ini dengan membuat website tentang pekerjaannya dan mempromosikannya di dunia maya. Tanpa diduga Ranum, websitenya tersebut disambut dengan begitu hangat. Pada awalnya ia memang berfokus pada orang-orang yang tidak suka datang ke pertemuan keluarga karena sering ditanyai macam-macam. Namun kemudian, sayapnya melebar karena alasan orang-orang menyewanya mulai bervariasi; mulai dari masalah dengan mantan istri, lingkungan kerja, teman, dan lain sebagainya.

Ranum Pramoedya memang bukan desainer gaun pengantin yang terkenal, tapi ketenarannya sebagai kekasih sewaan tidak bisa diremehkan.

“Kemarin berapa klien emang?” Tanya Rhea lagi.

“Empat total sama Bimo. Monyet tu Bimo, mentang-mentang partner kerja, bayarnya nyicil! Emang gua mobil?” gerutu Ranum.

“Bimo mah emang apa-apanya nyicil. Pahala juga gitu kayaknya.”

Keduanya lalu tertawa terbahak.

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka lagi. Kali ini, partner kerja Ranum yang lain muncul dari sana. Ranum dan Rhea langsung mengalihkan pandangan ke arahnya, tampak bingung melihat sosoknya yang terlihat kacau.

“Rin, ada masalah?” Rhea bertanya.

Wanita bernama Arina itu tidak segera menjawab. Ia masih sibuk mengaduk-aduk berkas yang ada di salah satu meja yang ada di sana. Baru beberapa saat kemudian ia berkata, “Ah- Itu- Kayaknya kita harus ke Hotel Pavilion sekarang deh.”

“Hah? Emangnya kenapa?” tanya Ranum.

Arina berkacak pinggang seraya memegangi dahinya, “Barusan Mbak Sari telepon gua, katanya dia batal pakai jasa catering dari hotel. Ibunya ngotot pingin pakai catering temennya. Duh, nyusahin bener!”

“Telepon aja kenapa, Rin?” Rhea menyarankan.

“Nggak bisa, Ya. Mbak Sari juga mau nambah jumlah kursinya, jadi daripada ribet, mending gua kesana aja deh,” Arina akhirnya menemukan buku agenda yang dicarinya, “Ada yang mau nemenin gua nggak?”

“Kamu aja, Num. Cari angin sebentar gih. Kamu pasti suntuk seharian ngerjain payet di sini,” Rhea berkata.

“Beneran nggak pa-pa?”

Wanita berambut pendek berkuncir kuda itu mengangguk, “Iyaa. Dah sono.”

Dan dengan satu gerakan yang cepat, Ranum pun berdiri, menyambar tas jinjingnya dan berjalan mengikuti langkah Arina yang terburu menuju pintu. Keduanya lalu menggunakan taksi menuju ke Hotel Pavilion. Tak sampai satu jam menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di hotel yang terkenal akan fasilitas dan pelayanannya itu. Arina bermaksud untuk segera menemui staf marketing hotel, tapi terhalang karena tiba-tiba Ranum menghentikan langkahnya di lobi.

“Ayo, Num. Lama ih, ngapain sih?” tanya Arina sembari menarik tangan Ranum.

“Kayaknya gua butuh ke toilet deh, Rin. Lu duluan aja ya ke kantor marketingnya. Nanti gua nyusul,” kata Ranum.

“Iy-Iya deh. Ya udah sana, Buruan ya,” jawab Arina. Setelahnya wanita berambut panjang itupun kemudian melanjutkan langkahnya kembali.

Beberapa saat kemudian, Ranum akhirnya selesai dengan urusannya dan keluar dari toilet seraya merapikan pakaian. Wanita itu bermaksud untuk menyusul Arina ke kantor marketing, tapi kemudian sadar jika ia tidak tahu arah. Meskipun wedding organizer-nya telah beberapa kali bekerjasama dengan hotel ini dalam pelaksanaan pernikahan, tapi Ranum tidak ingat dimana letak kantor marketingnya. Ia memang pernah datang ke sana sebelumnya. Namun, hanya sekali.

Mana ada orang yang sekali hafal jalan menuju kantor marketing di hotel yang punya dua tower dengan 20 lantai di masing-masing towernya ini?

“Duh, mestinya tadi gua suruh Arina nungguin aja,” ujarnya lemas.

Ranum lalu berjalan pelan ke arah lobi untuk bertanya pada resepsionis di mana letak kantor marketing. Namun, langkahnya terhenti saat seorang laki-laki melintas di hadapannya dengan membawakain lap dan tongkat pel yang kotor di tangan. Laki-laki itu memakai kemeja putih dan celana berwarna hitam. Badannya tinggi nan tegap sementara wajahnya tampan dengan rambut yang ditata rapi dan garis wajah yang tegas. Jika dilihat dari perawakannya, tampaknya umurnya tidak berbeda jauh dengan Ranum, sekitar 28 sampai 30 tahun.

Untuk sesaat, ketampanannya itu membuat Ranum ragu jika laki-laki itu bekerja di hotel ini. Namun, melihatnya membawa kain lap dan tongkat pel seperti itu, ia akhirnya yakin jika laki-laki itu adalah salah satu cleaning service.

“Sori, Mas,” panggil Ranum dan laki-laki itupun menoleh.

Namun, ia tidak langsung berjalan menghampiri Ranum. Ia terlebih dahulu menunjuk dirinya sendiri, “Saya?” tanyanya dengan wajah kebingungan.

Ranum tertawa, “Iya, Mas. Tolong ke sini sebentar.”

Laki-laki itu berjalan mendekat, “Ada apa, ya?”

“Kantor marketingnya dimana ya?” Ranum bertanya.

“Oh, dari koridor yang ada di lobi itu, Mbak jalan lurus saja. Nanti kantor marketingnya ada di sebelah kiri,” ia menjawab sambil menujuk arah.

Ranum mengangguk-angguk, “Oke oke. Makasih ya,” katanya lalu berbalik. Namun kemudian Ranum berhenti sejenak. Ia menoleh pada cleaning service itu lagi, “Oh ya, Mas, toilet agak kotor tuh. Tolong dibersihin ya. Nggak enak kalau hotel semewah ini toiletnya kotor,” ia berkata dengan santai dan berjalan pergi.

Raut wajah laki-laki itu berubah kaget begitu mendengar kata-kata Ranum barusan. Mulutnya terbuka seakan akan mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Ia lalu melihat ke arah kedua tangannya yang membawa kain lap dan tongkat pel. Tawa laki-laki itu pun terdengar saat ia sadar apa yang dipikirkan Ranum tentangnya.

“Tunggu, Mbak!” laki-laki itu memanggil Ranum yang sudah lumayan jauh seraya berlari kecil ke arahnya.

Ranum berbalik untuk menghadapnya, “Ya?”

“Mari saya antar ke kantor marketing. Kebetulan saya juga ada perlu di sana.”

Senyum Ranum terkembang, “Boleh.”

Keduanya berjalan di koridor hotel yang dindingnya dihiasi oleh lukisan-lukisan kecil yang sederhana namun indah. Lantai marmernya yang berwarna putih berkilat-kilat bagai tak pernah diinjak.

“Kalau dilihat dari Mas yang belum pakai seragam, Masnya pasti pegawai baru ya di sini?” tanya Ranum membuka pembicaraan.

Laki-laki itu membelalakkan matanya. Ia terlebih dulu tertawa baru menimpali, “Bisa dibilang begitu sih.”

Ranum mengangguk-angguk.

Tak berapa lama, mereka akhirnya sampai di kantor marketing Hotel Pavilion. Ranum bisa melihat Arina sedang bercakap dengan seorang wanita yang tampaknya adalah salah satu staf marketing hotel. Laki-laki tadi membukakan pintunya dan mempersilakan Ranum untuk masuk terlebih dahulu.

“Makasih udah mau nganterin saya ya, Mas,” ucap Ranum, “Oh ya, kayaknya mendingan Mas jadi model aja deh. Yah walaupun kayaknya kalau dari segi umur udah nggak masuk lagi sih, tapi paling nggak jangan jadi cleaning service deh, sayang mukanya ganteng gitu masa cuma bersih-bersih hotel?”

Laki-laki itu terlihat tertawa kecil mendengar celotehan Ranum, “Iya, Mbak.”

Namun, tiba-tiba suara seseorang yang berseru terdengar, “Pak Raga!”

Saat Ranum membalikkan badannya, dilihatnya staf marketing yang sedang bercakap dengan Arina tadi telah bangkit berdiri. Ia menghadap ke arahnya dan laki-laki tadi dengan postur tubuh yang kaku.

“Siang, Mbak Ratih,” laki-laki di sebelah Ranum itu menyapa.

Seketika mata Ranum terbelalak lebar. Staf marketing tadi memanggil laki-laki itu dengan panggilan ‘Pak’. Itu berarti jika orang ini memiliki jabatan yang lebih tinggi darinya, dan barusan tadi Ranum mengira jika ia adalah cleaning service

Ia dalam masalah besar.



Illustrasi-Ch-01-B;;


“Mbak Arina, perkenalkan, ini Pak Raga, direktur Hotel Pavilion ini. Lalu Pak Raga, dia ini Mbak Arina yang sering menyewa ballroom untuk acara pernikahan,” kata staf marketing bernama Ratih tadi.

Arina pun mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Raga, “Halo.”

“Halo. Oh, maaf saya nggak bisa salaman. Tadi ada sesuatu di lobi, jadi tangan saya kotor,” Raga berkata dengan sopan.

“Iya nggak pa-pa,” Arina membalas.

Raga lalu beralih pada Ratih, “Oh ya, Mbak Ratih, sehabis ini bisa minta tolong panggilkan Mas Andri dari bagian HR? Sepertinya ada yang nggak sengaja meninggalkan ini di lobi. Bilang sama Mas Andri tolong temuin saya di kantor ya,” ujarnya sembari mengangkat kain lap dan tongkat pel yang ada di kedua tangannya.

Untuk sejenak Ratih terlihat kaget lalu berkata, “Ba-Baik, Pak,” tangannya kemudian terulur untuk mengambil kain lap dan tongkat pel itu dari tangan Raga.

“Nah, apa ada masalah, Mbak Arina?” Raga menoleh pada Arina.

“Oh cuma klien saya yang minta ganti catering dan tambah kursi buat acara pernikahannya sebulan lagi,” Arina menjawab.

“Ganti catering? Apa ada yang salah dengan catering hotel kami?”

“Oh nggak, nggak, nggak ada masalah kok, Pak Raga. Ibu klien saya cuma ingin mengganti catering hotel sama catering kenalannya.”

Mendengar itu, Raga mengangguk-angguk, “Cateringnya bisa diganti kan, Mbak Ratih?” Raga beralih lagi pada Ratih yang berada di sampingnya.

“Iya bisa, Pak. Sehabis ini saya akan langsung mengabari bagian catering.”

“Kalau begitu, bagaimana dengan tambahan kursinya?”

“Tidak ada masalah, Pak.”

“Bagus, bagus,” Raga mengangguk-angguk lagi, “Ngomong-ngomong kalau saya boleh tahu, pekerjaan Anda apa, Mbak Arina? Kata Mbak Ratih, Anda sering menyewa ballroom hotel untuk acara pernikahan?”

“Saya dan teman-teman saya punya wedding organizer. Dan kebetulan banyak klien yang ingin mengadakan acara pernikahan di sini, jadi saya sudah sering ketemu dengan Mbak Ratih,” Arina menjawab, “Nah, kalau yang itu Ranum, rekan bisnis saya. Kalau saya bagian gedung dan catering, teman saya itu yang bagian gaun pengantin,” lanjut Arina seraya menunjuk ke arah Ranum yang masih terpaku di samping pintu.

Ranum mengunci mulutnya sedangkan matanya kembali terbelalak lebar melihat Raga kini menoleh ke arahnya. Ia merasa begitu malu sampai tak bisa lagi berkata-kata. Ia telah mengira direktur hotel sebagai cleaning service! Cleaning service! Betapa malunya! Jika saja ia kini berada di lantai tertinggi, ia pasti akan langsung berlari ke jendela dan melompat dari sana. Ia tidak ingin lebih lama lagi berada di ruangan itu.

“Si-Siang,” sapa Ranum sopan.

Namun, betapa kagetnya Ranum karena Raga malah tertawa, “Iya, saya sempat ngobrol-ngobrol sebentar dengan Mbak Ranum tadi.”

“Eh beneran? Ah iya, tadi kan Pak Raga datengnya bareng sama Ranum!” Arina bergumam sendiri, “Kok bisa sih, Num?”

Belum sempat Ranum menjawab pertanyaan Arina tadi, Raga telah membuka mulut, “Iya, tadi kami bertemu di depan toilet, lalu Mbak Ranum tanya pada saya dimana kantor marketing. Karena saya juga ada urusan di sini, jadi saya antar sekalian saja,” jawabnya.

“Oh gitu ya,” Arina menimpali.

“Teman Anda ini baik sekali lho, Mbak Arina. Mbak Ranum bilang kalau saya punya wajah yang ganteng, dan juga‒,” Raga menghentikan kata-katanya sejenak lalu mengunci matanya kembali pada Ranum. Senyum tipis yang palsu terulas di wajahnya, “‒kalau saya lebih baik jadi model daripada jadi cleaning service.”

Ranum hampir saja menjedotkan kepalanya ke dinding kaca.




; Holiday Girlfriend Chapter 2 ;


You must Register or Login to post a comment