KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Way Back Home | Chapter 2 : I dream because i can meet you in dreams

27 Juni 2021

Way Back Home | Chapter 2 : I dream because i can meet you in dreams

Dari semua musim yang ada di dunia, hanya ada satu musim yang tidak aku sukai. Musim hujan.

 

"Kalau begini terus, kapan cucian akan kering?" keluh Yori. Beberapa saat yang lalu lelaki dengan rambut pirang itu baru saja menjemur pakaian. Tak lama berselang, satu persatu tetesan air pun turun dari langit.

 

Kalian pikir aku tidak suka hujan karena membuat cucianku tidak kering? Kalau begitu, kalian salah besar. Cucian yang tidak kering adalah hal sepele bagiku. Ada satu hal yang membuatku memiliki pengalaman buruk dengan hujan.

 

'Jangan menangis'.

 

Kalimat itu selalu berputar di kepalaku bagaikan kaset rusak. Setiap kali hujan turun dan membasahi bumi, kenangan itu selalu meluap, memporak porandakan perasaanku.

 

"Hee terdengar seperti muda mudi yang sedang dimabuk asmara," tanpa sadar aku mengucapkan isi pikiranku dan menarik atensi Yori. "Siapa yang terdengar seperti muda mudi yang sedang dimabuk asmara, Hokuto-sama?" aku tersentak.

 

"Oh, bukan apa apa. Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?" kurva bibirnya semakin melengkung. "Bagaimana aku bisa menyelesaikan pekerjaanku sedangkan di luar sedang hujan lebat? Ugh, aku benci hujan!"

 

Sesaat kemudian iris karamel itu berbinar, seolah menemukan sesuatu yang menarik. "Aku baru ingat. Hokuto-sama, jika kau mengizinkan, bolehkan aku pergi keluar sebentar?"

 

"Kau mau ke mana? Di luar sedang hujan lebat. Bukannya kau bilang kau benci hujan?" tanyaku.

 

"Tapi, ada toko ramen yang baru saja buka. Kau tahu, Tuan? Manusia bilang, jika makan ramen hangat di saat hujan seperti ini akan membuatmu merasa nyaman. Oh, tentunya merasa kenyang juga!" ternyata itulah alasan kenapa matanya begitu berbinar. Dasar, apa otaknya hanya berisi tentang makanan?

 

"Boleh, kan?" tatapannya bagaikan seekor anak anjing yang minta dipungut- bukan, dia seekor rubah. Anak rubah yang minta dipungut? Lupakan saja.

 

"Baiklah, kau boleh pergi," dengan begitu, ia pun langsung melesat pergi. Meninggalkanku yang masih berdiam diri di posisiku. Apa ya, namanya? Posisi nyaman?

 

Hening. Biasanya suara ribut Yori yang memenuhi rumah ini. Sekarang hanya ada aku ditemani dengan nyanyian hujan di luar sana yang tak kunjung berhenti. Aku menghela nafas sembari memejamkan mata untuk sejenak. Tanpa sadar, aku pun mulai tertidur.

 

'Sudah aku bilang, bukan? Aku bisa mengubahmu menjadi sosok yang lebih baik. Sosok yang akan dicintai oleh semua orang. Lihat, aku berhasil!'

 

'Apa apaan dengan ekspresimu itu? Hahaha, kau membuatku geli!'

 

'Aku sudah berjanji, jadi aku tidak akan melanggarnya. Jangan khawatir'.

 

'Hei, kau menangis? Aku tidak tahu jika kau masih bisa menangis'.

 

'Aku akan selalu ada di sisimu'.

 

Aku tersentak dikala mendengar suara gemuruh yang menggelegar. Deru nafasku tak beraturan, keringat mengalir deras membahasi wajahku. Tak lama kemudian listrik pun padam. Menyisakan ruangan yang gelap gulita tanpa pencahayaan.

 

Mataku beralih menatap sekeliling dengan panik. Ku raih wajahku dan menghapus keringat yang kian membanjir dengan sedikit gemetaran.

 

Mimpi buruk, mati lampu. Perpaduan yang sangat sempurna.

 

"Sial, sial, sial!" umpatku.

 

Kepalaku berdenyut, membuatku meringis pelan. 'Setelah sekian lama, kenapa mimpi itu kembali muncul?' pikirku. Padahal beberapa tahun belakangan aku sudah tidak memimpikannya. Tapi kenapa sekarang terjadi lagi?

 

'Aku akan selalu ada di sisimu'.

 

Kalimat itu kembali terngiang ngiang. Aku pun mendengus. "Apanya yang akan selalu ada di sisiku?"

 

Tunggu.

 

Tidak mungkin hal ini berkaitan dengan kejadian malam itu.

 

Tanganku terangkat, meraih anting yang terpasang di telinga kiri. "Apa jangan jangan-"

 

"Hokuto-sama!" Yori mendobrak pintu, berjalan masuk dengan jas hujan yang masih menempel di tubuhnya. "Huwa~ aku berhasil mendapatkannya setelah mengantri cukup panjang".

 

"Loh? Aku baru sadar jika listriknya padam," ke mana saja ia dari tadi hingga baru menyadari setelah berada di sini selama lima belas menit?

 

Listrik kembali menyala, kini semuanya dapat terlihat dengan jelas. Bahkan raut wajah cemasku yang akhirnya menarik perhatian. "Kau baik baik saja, Hokuto-sama?"

 

"Apa yang terjadi selama aku pergi? Apa ada yang mengganggumu?" ramen yang tadinya menggugah selera kini tak lagi menarik. Yori menyerangku dengan berbagai pertanyaan sedangkan aku memilih untuk tetap bungkam. "Hokuto-sama, beritahu aku!"

 

"Yori.."

 

"Maaf, aku rasa aku tidak ingin membicarakannya saat ini".

 

-*-

 

"Seperti biasa, anda selalu ringan tangan".

 

Tangannya menghentikan pergerakanku yang tengah membersihkan pedang kesayanganku. "Maaf jika saya lancang. Tapi, bisakah anda mendengarkan saya barang sejenak saja?"

 

Aku menepis tangannya dan melanjutkan kegiatanku. "Apa pedulimu? Kau bahkan tidak mengerti bagaimana rasanya ketika menyayat daging daging busuk itu dan membawa beberapa anggota mereka badan sebagai kenang kenangan," jawabku dengan santainya. Seulas senyuman terukir di bibirku saat pedangku kembali bersih dari darah para bajingan itu.

 

"Apa yang kau lakukan?" mataku menatapnya, kini ia tengah bersimpuh di lantai yang kotor akibat sisa darah yang berceceran di mana mana. Mengabaikan pakaian putihnya yang nanti akan terkena kotoran itu. Ia balik menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Mata kami pun bertemu.

 

"Apakah anda akan merasa kesal jika ada anggota keluarga anda yang tersiksa?" aku mendengus. "Pertanyaan retoris. Untuk apa kau bertanya sesuatu yang sudah pasti? Kau itu bodoh, ya?"

 

Bukannya marah, justru ia malah tersenyum anggun. Dalam sepersekian detik, aku merasa ada yang aneh di dalam dadaku. "Kenapa kau malah tersenyum? Asal kau tahu, aku tidak mengatakan sesuatu agar kau tersenyum".

 

"Saya tahu itu," ia menghela nafas pelan. "Tapi, tidakkah anda merasakan hal yang sama dengan mereka? Selayaknya anda merasa kesal dengan perlakuan yang tidak layak diterima oleh ibu ratu selama ini, apakah mereka juga tidak akan merasa kesal jika anda perlakukan dengan hal yang serupa? Coba pikirkan kembali, Yang Mulia".

 

Ia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. "Bukan, bukan kesal. Lebih tepatnya, mereka sedih dan marah karena apa yang anda lakukan. Tidak bisakah tangan ini melakukan sesuatu yang lebih baik dibanding menghilangkan banyak nyawa yang tidak bersalah? Melampiaskan rasa dendam kepada orang yang lain bukanlah hal yang benar".

 

Seolah tertampar dengan kenyataan, aku memutus kontak mata kami terlebih dahulu. Dapat aku rasakan ibu jarinya mengusap punggung tanganku.

 

"Saya tahu anda bukanlah orang yang jahat, Yang Mulia. Maka dari itu, saya yakin bahwa suatu saat nanti, anda bisa menjadi sosok yang lebih baik. Sosok yang kehadirannya membawa rasa aman dan damai. Bukan sosok yang membawa rasa takut dan malapetaka".

 

Ia tampak tersentak ketika aku menarik tanganku darinya. "Cukup basa basinya".

 

"Kita tidak memiliki hubungan yang membuatmu bisa bicara seolah menasehatiku. Setidaknya ingat posisimu sebagai sandraanku dan berterima kasihlah karena aku mengampuni nyawamu. Kau tidak perlu banyak ikut campur di sini," aku berdiri dari batu besar yang sedari tadi aku jadikan tempat duduk dan berbalik, hendak pergi meninggalkannya. Namun, langkahku terhenti.

 

"Ah, dan jangan lupa. Gaun putihmu itu terlalu suci untuk dicemari dengan noda darah. Aku permisi".

 

-*-

 

Sinar mentari merambat masuk melalui celah jendela. Memaksaku untuk kembali dari alam mimpi. Aku mengerang.

 

'Rasanya aku baru saja melakukan perjalanan yang jauh,' pikirku sembari mengucek mata.

 

"Selamat pagi, Hokuto-sama. Apa tidurmu nyenyak?" aroma masakan menguar ketika aku memasuki dapur. "Sepertinya aku sudah mendapatkan jawabannya saat menyaksikan perubahan ekspresimu, Hokuto-sama" ia tersenyum maklum dan menghidangkan makanan di atas piring. "Aku tidak akan memaksamu seperti semalam. Jadi, ayo sarapan dan perbaiki suasana hatimu. Makanan enak bisa membuatmu lebih baik, aku jamin itu".

 

"Yah, aku rasa begitu. Terima kasih makanannya".

 

Kami makan dalam diam. Hal ini sudah biasa bagiku. Namun, tidak dengan Yori. Lelaki itu biasanya akan banyak bicara, sedangkan aku akan diam sambil menyimak segala ocehannya. Kali ini ia tampak lebih tenang. Dan aku rasa hal ini karena kejadian kemarin.

 

"Hei, Yori," dapat aku lihat ia sedikit berbinar karena pada akhirnya aku memanggil namanya dan memulai pembicaraan. Aku rasa tidak ada salahnya untuk berbagi.

 

"Kau siap untuk bercerita, Hokuto-sama?" tanyanya dengan sedikit keraguan. Namun, binar mata karamel itu tampak sangat ingin tahu. Apa boleh buat.

 

"Ya, aku rasa demikian" ia tersenyum. "Kalau begitu, aku akan mendengarkanmu, Tuanku".



; Way Back Home Chapter 3 ;


You must Register or Login to post a comment