KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Way Back Home | Chapter 1 : It's better not to know the truth

20 Juni 2021

Way Back Home | Chapter 1 : It's better not to know the truth

 

Satu hal yang aku pelajari setelah bertahun tahun. Aku tidak takut akan kematian. Bahkan, ketika seutas tali mencekik leherku. Atau sebilah pedang menusuk tepat di jantung, aku tidak peduli.

 

Karena aku immortal.

 

- Way Back Home –

 

"Saat rubah betina mati, sang jantan akan tetap setia dan memilih untuk menjadi duda sampai akhir hayatnya. Namun, ketika rubah jantan yang mati. Rubah betina akan cepat cepat mencari pejantan baru- akh! Itu sakit!"

 

Sebuah buku melayang begitu saja dari tanganku saat mendengar kalimat yang dibaca oleh Yori. Jelas sekali dia menyindirku dengan mengeraskan suaranya. Dia pikir aku bodoh sampai sampai tidak memahami maksud dari kalimat yang dibacanya?

 

Helaan nafas terdengar dari seberang sana. Yori menutup buku yang sedari tadi ia baca dan menyandarkan kepalanya di atas meja. "Mau sampai kapan kau seperti ini, Hokuto-sama?"

 

Mataku melirik ke arahnya. "Koreksi, bukan hanya aku. Tapi kita. Kita berdua terjebak dalam situasi yang sama," ujarku dengan penekanan pada kalimat terakhir. Ia memutar mata dengan malas.

 

"Setidaknya aku begini bukan karena kutukan," Yori bergumam pelan, mungkin ia berharap aku tidak mendengar perkataannya. Namun, sayang sekali. Di ruangan yang sepi ini aku bisa mendengar setiap kalimatnya dengan jelas. Bahkan, deru nafas serta detak jantungnya tak luput dari pendengaranku.

 

Siapa juga yang ingin terkena kutukan? Tidak ada orang yang menginginkan hal itu. Begitu pun denganku.

 

"Hokuto-sama? Kau mau kemana?" Yori menegakkan kepalanya ketika menyadari pergerakanku yang beranjak dari sofa. "Bawa aku bersamamu, jangan pergi seorang diri".

 

Seulas senyuman mengambang di wajahku. Dasar, walau dia berani menghinaku tapi dia masih saja khawatir. "Hei, aku tahu maksud senyumanmu itu, Hokuto-sama. Maaf jika aku sering membuatmu jengkel. Tapi, bagaimana pun aku tetap bawahanmu. Dan aku bertanggung jawab atas keselamatanmu".

 

"Waktu boleh saja terus berjalan. Aturan dunia boleh berubah. Namun, tidak dengan yang satu ini," ia berdiri dan mendekatiku. "Ayo, katakan kau ingin pergi kemana".

 

Kekehan meluncur dari mulutku melihat tingkahnya. "Aku hanya ingin ke luar dan mencari makan siang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," helaian rambutnya yang berwarna pirang aku acak dengan gemas. "Jika kau memang memaksa, aku tidak bisa menolak. Ayo, rubah kecil. Kita makan di luar. Aku yang traktir," ujarku sembari berjalan duluan. Meninggalkan Yori dengan raut wajah kesal karena ulahku yang mengacaukan tatanan rambutnya.

 

-*-

 

Namaku Hokuto. Sekilas, aku terlihat seperti lelaki dewasa pada umumnya. Satu hal yang membedakanku dari mereka. Kalian tahu apa itu?

 

Ya, usiaku. Usiaku saat ini jauh dari yang terlihat dari penampilanku. Orang yang melihatku pasti mengira usiaku masih sekitar dua puluhan. Salah besar, karena sesungguhnya aku sudah hidup lebih lama dari yang mereka bayangkan. Bahkan, aku sendiri lupa berapa tepatnya usiaku saat ini. Ratusan? Entahlah, aku tidak ada waktu untuk menghitungnya.

 

"Hokuto-sama. Malam ini kita makan apa? Aku sarankan kita makan yakiniku! Kau tahu, kita sudah lama tidak makan yakiniku".

 

Yori, bawahanku yang paling setia. Sepanjang hidup aku habiskan bersama dengannya. Walau terkadang ia sering membuatku jengkel, kesetiaan serta dedikasinya tak pernah aku ragukan.

 

"Hokuto-sama! Kau mengabaikanku!" teriaknya dengan kesal. Ah, sepertinya aku tenggelam dalam pemikiranku. Untuk sejenak, aku melupakan keberadaannya saat ini. "Terserahmu saja".

 

Raut bahagia tergambar di wajahnya ketika berbagai jenis daging terhampar di hadapan kami. Dengan semangat, ia pun memamerkan keahliannya dalam memanggang. Menyajikan daging yang telah matang dengan sempurna kepadaku. "Cobalah, Hokuto-sama!"

 

"Kau tampak sangat senang," aku mengambil sumpit dan meraih daging di atas mangkuk milikku. Memakannya dengan perlahan. Berbeda dengan Yori yang tampak sedikit tergesa gesa. "Aku tidak akan tanggung jawab jika kau tersedak".

 

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Oh, bukan. Baru saja aku mengatakannya, tiba tiba Yori tersedak. Dengan sigap ia meraih gelas yang berisi air dan meminumnya sembari menepuk nepuk dadanya yang bidang. Aku menggeleng pelan. "Sudah aku bilang, bukan?"

 

Ia merengut. "Iya, aku tahu aku salah. Jangan ceramahi aku".

 

Kami kembali melanjutkan makan dengan diam. Mataku menelusuri sekeliling, menatap banyaknya manusia yang berada di tempat ini. Sesaat kemudian aku tersadar. "Yori, sekarang hari apa?"

 

Yori yang baru saja akan menyuap daging ke dalam mulutnya pun berhenti. "Em, Sabtu?" jawabnya dengan nada bingung. "Apa ada yang salah, Hokuto-sama?"

 

Pantas saja. Ini malam Minggu. Tidak mungkin para muda mudi hanya akan berdiam di rumah. Tidak heran jika restoran ini terbilang cukup ramai. Aku menggeleng. "Lupakan saja".

 

"Maaf, Hokuto-sama. Aku ingin bertanya kepadamu," Yori mengangkat tangannya, menunjuk ke arah telinga kiriku. "Apa hari ini kau tidak mengenakan antingmu?"

 

Mataku melebar karena kaget, refleks menyentuh bagian bawah telinga kiri. 'Celaka..'

 

"Kapan kau menyadarinya?" tanyaku. Yori berpikir sejenak. "Aku rasa.. Sejak kita keluar dari rumah?" itu sudah sekitar tiga puluh menit yang lalu.

 

Aku mendecih. Bisa bisanya aku tidak menyadari hal ini. "Aku harus mencarinya," tanganku meronggoh dompet di dalam kantung celana. Mengeluarkan beberapa lembar uang sebelum pergi dari restoran.

 

Dengan kalut, aku menelusuri jalan yang tadinya kami lalui. Berharap menemukan benda kecil berwarna hitam itu.

 

'Ini akan sulit bagiku'.

 

"Hokuto-sama! Biar aku saja yang mencarinya. Kau kembali lah ke rumah-"

 

"Tidak, aku harus mencarinya sendiri. Aku yakin, pasti ada di sekitar sini," tolakku. "Ah, begini saja. Kau cari ke arah sana, aku cari ke arah sini".

 

Yori mengangguk patuh. Ia langsung melesat ke arah yang aku sebutkan. Sedangkan aku kembali fokus mencari antingku.

 

'Ceroboh sekali. Bagaimana benda kecil itu bisa lepas dari telingaku?' pikiranku berkecamuk. Debaran jantungku pun semakin tidak terkendali. 'Cepatlah, di mana anting itu?'

 

Aku terlalu panik sampai tidak menyadari ada sosok lain yang berjalan dari arah berlawanan. Tanpa sengaja, aku membuatnya terjatuh dengan bagian belakang terhempas lebih dahulu.

 

"Auch! Aduh.." ia merintih. Aku yakin dengan pendaratan itu, pasti terasa sakit bagi gadis sepertinya.

 

"Maaf, aku tidak melihatmu karena gelap," kilahku. "Kau baik baik saja?" aku mengulurkan tangan ke arahnya. Ia pun menerima uluranku tanpa penolakan. "Maaf," ujarku sekali lagi.

 

"Uh, yah, tidak masalah. Aku juga bersalah karena berjalan tanpa melihat sekeliling," ia memutus kontak terlebih dahulu. "Aku buru buru, permisi tuan," ia membungkuk sekilas sebelum akhirnya mata kami bertemu.

 

'Hime!?'

 

Belum sempat tanganku meraihnya. Sosok itu sudah pergi. Meninggalkan tanda tanya besar dalam diriku.

 

"Mustahil".

 

Aku menggeleng sembari tertawa hambar. "Tidak, aku pasti salah. Ya, aku rasa demikian. Gadis itu tidak mungkin 'dia'. Langit malam telah menipuku dengan liciknya".

 

Dari kejauhan, aku melihat sosok lelaki berambut pirang yang berlari mendekat. "Aku menemukannya!" ujar Yori dengan girang. Ia memberikan benda berwarna hitam itu kepadaku. Aku tersenyum tipis dan mengusap kepalanya. "Kerja bagus, rubah kecil".

 

-*-

 

Sedari tadi aku merasakan sesuatu di belakang kepalaku. Seolah ada tatapan tajam yang mampu menembus tempurung kepalaku kapan saja di saat aku mulai lengah. Aku menghela nafas pelan. "Yori, hentikan!" dapat aku dengar lelaki lainnya di ruangan ini tengah mengeluh.

 

"Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu sejak tadi. Berhenti menatapku dengan tatapan seolah tak ada apa apa dan cepat ceritakan masalahmu," aku memutar kepala. Dan benar saja, kedua iris berwarna karamel itu tengah menatapku.

 

"Harusnya aku yang bertanya kepadamu, Hokuto-sama. Kenapa? Semenjak kejadian seminggu lalu, sikapmu terlalu aneh menurutku. Katakan, apa yang terjadi saat aku tidak berada di sisimu malam itu?"

 

Pandangan kami bertemu selama beberapa detik sebelum aku memutusnya terlebih dahulu. "Bukan apa apa. Aku rasa kau tidak perlu mencemaskan hal ini".

 

"Apa berkaitan dengan antingmu?" Yori kembali mengangkat suara. "Atau.. Lebih tepatnya berkaitan dengan Hime-sama?"

 

"Yori!"

 

Ia tersentak. Sepertinya reaksiku terlalu berlebihan. Yori menompang dagunya dengan tangan, masih menatapku. "Aku mengenalmu bukan satu atau dua hari, Hokuto-sama. Kita sudah bersama selama puluhan, bahkan ratusan tahun," helaan nafas terdengar. "Aku tahu saat saat di mana kau berkata jujur atau berbohong. Jadi, aku rasa percuma kau menyembunyikannya dariku".

 

Dia benar. Kami tidak baru saling mengenal dalam waktu yang singkat. Ratusan tahun sudah aku lalui bersama lelaki ini. Tapi, entah kenapa lidahku terasa kelu untuk membicarakan hal yang terjadi malam itu. Padahal spekulasiku tentang hal ini masih belum sepenuhnya benar.

 

"A-aku-" baru saja aku hendak membuka mulut, Yori memotong kalimatku dengan beranjak dari posisinya. "Dengar, sudah ratusan tahun kita lewati. Tidak pernah barang satu kali pun kau mengeluhkan masalahmu kepadaku. Kenapa, Hokuto-sama?”

 

Pertanyaannya barusan sempat membuatku terhenyak. Dia benar, bertahun tahun kami tinggal bersama, harusnya kami saling berbagi dalam suka maupun duka. Tapi tidak pernah sekali pun aku menyinggung 'masalah' yang tengah aku hadapi. Rasanya seolah kembali membuka lembaran lama. Kembali mengoyak luka yang sudah aku tutup dengan sempurna.

 

“Tidak masalah,” ujarnya. “Jika kau belum siap menceritakannya saat ini, aku tidak akan memaksamu, Tuanku. Kapan pun kau siap, kapan pun kau ingin berbagi masalah. Aku akan selalu ada bersamamu dan selalu berada di pihakmu," ia memberikan seulas senyuman kepadaku. "Karena itulah tugasku dari dulu, untuk selalu menjadi bawahanmu yang setia".

 

Aku mengangguk sekilas. "Terima kasih," ujarku dengan tulus. Ia menguap. "Yah, lagi pula saat ini aku sudah mengantuk. Izinkan aku undur diri dan menjelajahi alam mimpi".

 

Ia kembali menguap dengan lebar. Seolah akan menyedot apa pun yang ada di sekitarnya.

 

"Hei, Yori," panggilanku membuat langkahnya terhenti. Ia pun menoleh, menatapku dengan tatapan bertanya.

 

Aku terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Bukan hal penting. Pergilah," sebelah alisnya terangkat.

 

"Hee kau memanggilku tapi tidak mengatakan apa pun," ia menaikkan bahu. "Ya sudah, selamat malam, Hokuto-sama".

 

'Aku rasa, aku akan menyampaikan pertanyaan ini di lain waktu'.



; Way Back Home Chapter 2 ;

You must Register or Login to post a comment